UNEG-UNEG


Berikanlah Keadilan bagi Prita

Sabtu, 05 Desember 2009 | 01:30 WIB

Jalan panjang masih harus dilalui Prita Mulyasari buat menggapai keadilan. Setelah dikalahkan lagi di pengadilan banding oleh Rumah Sakit Omni Serpong, Tangerang, ia berupaya mengajukan permohonan kasasi. Kami mendukung langkah ini karena ia seharusnya tidak dinyatakan bersalah.

Ibu dua anak itu divonis membayar ganti rugi Rp 204 juta kepada Omni hanya karena menulis keluhan mengenai layanan rumah sakit ini lewat surat elektronik. Inilah putusan Pengadilan Tinggi Banten yang diumumkan baru-baru ini. Putusan ini tak jauh berbeda dengan vonis sebelumnya di pengadilan negeri. Ganti ruginya saja yang lebih kecil. Tapi Prita tetap dinyatakan bersalah mencemarkan nama baik penggugat.

Serangan dari Rumah Sakit Omni tak berhenti di situ. Sebab, Prita juga diadili secara pidana dalam kasus yang sama. Ia dijerat dengan pasal pencemaran nama baik, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kasus ini sudah sampai pada tahap penuntutan, dan Prita dituntut hukuman 6 bulan penjara.

Khalayak jelas prihatin. Mengapa penegak hukum mengabaikan rasa keadilan masyarakat? Kasus ini sempat mengundang protes besar-besaran ketika Prita ditahan. Tersangka kemudian dibebaskan lewat putusan sela, tapi belakangan ia tetap diseret ke pengadilan karena putusan itu dianulir oleh pengadilan tinggi. Bukan hanya Prita yang dipingpong, masyarakat pun dipermainkan.

Nasib Prita mirip Minah di Banyumas, Jawa Tengah, yang dihukum hanya gara-gara mencuri tiga buah kakao. Penegak hukum tampak begitu sigap ketika melayani pengaduan dari pihak yang kuat, dan amat tega menimpakan putusan bersalah terhadap pihak yang lemah. Prita bahkan seharusnya tidak divonis bersalah dan tak mesti membayar ganti rugi karena gugatan Omni amat lemah. Sebab, tindakan tergugat tidaklah termasuk pencemaran nama baik karena ia menceritakan pengalamannya sendiri. Prita tidak menyebarkan kebohongan, apalagi fitnah. Keluhan seperti ini justru merupakan hak pasien atau konsumen yang dilindungi undang-undang.

Delik pencemaran nama baik itu sendiri, baik dalam dalam KUHP maupun UU Transaksi Elektronik, juga sering dipersoalkan dan seharusnya tidak digunakan oleh penegak hukum. Aturan ini bertentangan dengan kebebasan berpendapat dan cenderung disalahgunakan demi membela kepentingan pihak yang berpengaruh secara politik atau ekonomi.

Pihak Omni memang menawarkan perdamaian dengan syarat tergugat meminta maaf secara terbuka. Sikap Prita yang tetap mengajukan kasasi sekaligus menolak tegas tawaran ini patut dipuji. Sebab, meminta maaf sama saja dengan mengakui kesalahan. Khalayak perlu mendukung sikap ini karena perjuangannya harus dilihat bukan sekadar untuk membebaskan diri dari jeratan hukum, melainkan juga mencegah orang lain kelak mendapat perlakuan yang sama.

Kegigihan Prita mestinya pula membuka hati hakim kasasi yang menangani gugatan ini, juga hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang segera memutus kasus pidananya. Berilah ia keadilan.

Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar