FATWA


A. Batasan Jumlah Mas Kawin dalam Islam

By Republika Newsroom

Senin, 04 Mei 2009 pukul 15:19:00

Pertanyaan

Berapa besarnya mahar yang ditentukan oleh Islam yang harus diserahkan calon mempelai pria kepada mempelai wanita?

Jawaban

Pernikahan menurut Islam terwujud dengan adanya keridaan calon mempelai wanita, mahar dari calon mempelai pria dan kesaksian para saksi. Sehingga dengan demikian tercapailah kata sepakat antara kedua calon pengantin atas nama Allah dan amanat yang diberikan-Nya.

Mahar merupakan salah satu bentuk hadiah yang diberikan seorang pria sebagai ungkapan kesetian dan cintanya pada calon istrinya.

Allah Swt berfirman, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisaa’ :4) Di dalam ayat ini terdapat kata //nihlah yang berarti pemberian yang murni.

Besarnya mahar tidak pernah ditetapkan dalam jumlah tertentu. Sehingga tidak ada orang yang mengatakan jumlah mahar yang diterimanya berlebih atau berkurang. Perkara ini diserahkan kepada keikhlasan kedua calon pengantin, berdasarkan kemampuan calon mempelai pria. Tidak perlu berlebihan dan tidak perlu sombong.

Allah Swt berfirman, ” Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisaa’ :20-21)

Kami menyeru kepada seluruh para pemimpin agar mempermudah pernikahan, sehingga kehormatan para pemuda dan pemudi kita akan terjaga dengan baik. Dengan menikah, mereka akan terbebas dari perangkap  setan. Mahar yang paling murah adalah mahar yang paling banyak berkahnya bagi seorang wanita.

Pada suatu ketika, seorang pria datang menemui Rasulullah Saw. memohon bantuannya agar dapat memberikan mahar untuk calon istrinya. Rasulullah bertanya, “Berapa banyak mahar yang engkau akan serahkan?”

Pria itu menjawab, “4 Uqiah (160 dirham perak).”

Mendengar jawaban ini, Rasulullah terkejut dan beliau bersabda, “Engkau seolah-olah mudah mengambil perak dari sebuah gunung.” yaitu engkau mengambil harta dari sebuah batu gunung (seolah-olah mudah memperoleh harta). Oleh karena itu, janganlah terlalu mahal dalam menentukan besarnya mahar. (Dr. Al-Musayyar/Guru Besar Universitas Al-Azhar)

B. Hukum Penggunaan Harta Anak Yatim oleh Walinya

By Republika Newsroom

Selasa, 12 Mei 2009 pukul 09:42:00

Pertanyaan

Seorang wali (penanggung jawab) anak yatim telah melakukan transaksi jual beli dengan menjual sebidang tanah pertanian yang merupakan harta warisan anak yatim tersebut. Dia menjualnya dengan tujuan untuk memenuhi keperluan si anak dan sisanya digunakan untuk membeli sebidang tanah pertanian yang lain sebagai ganti dari tanah yang terjual tadi.

Ketika si anak yatim ini telah dewasa, dan tiba masanya untuk memiliki/mengelola sendiri harta warisannya, dia mendapati satu fakta bahwa ternyata harga tanah yang dijual oleh walinya tersebut berharga lebih tinggi dari harga jual waktu itu.

Pertanyaanya adalah apakah si anak yatim yang merupakan pewaris harta tersebut boleh dan berhak membatalkan transaksi yang sebelumnya telah dilakukan oleh walinya, mengingat adanya perbedaan yang sangat mencolok pada harga harta warisan tersebut?

Jawaban

Penggunaan atau Pembelanjaan harta anak kecil dan orang-orang selainnya yang tidak mampu melakukan transaksi itu sendiri, seperti orang gila dan orang idiot hanya boleh dilakukan dalam kondisi darurat atau demi kebahagiaan orang yang dia urusi (orang yang berada dalam perwaliannya). Maksudnya adalah berdasarkan kemaslahatan si anak. Pengarang kitab Fath al-Wahhab, yang beraliran fikih Syafi’i mengatakan, “Dan tidak diperbolehkan bagi wali-yang mengurusi-anak kecil, orang gila ataupun orang idiot untuk membeli budak secara sepihak, meskipun untuk keperluan orang-orang yang diurusnya tersebut, karena dia hanya diperbolehkan membelanjakan harta anak yang diurusnya tersebut berdasarkan kesenangan anak.

Adapun pengarang al-Wajiz berkata, “Wali tidak boleh membelanjakan harta orang yang berada dalam perwaliannya, kecuali berdasarkan kesepakatan sang anak atau berdasarkan kemaslahatan anak perwaliannya tersebut. Dia juga tidak boleh menggantikan hukum Qishash yang ditetapkan untuknya, tidak boleh memerdekakan budak, tidak boleh melepas budak, baik dengan menggunakan tebusan ataupun tidak, dan tidak boleh melepaskan bagian yang telah disepakati dalam akad syuf’ah kecuali dikarenakan kemaslahatan sang anak.”

Pengarang Asna al-Mathalib berkata, “Seorang wali tidak boleh menggadaikan barang kecuali berdasarkan persetujuan orang yang berada dalam perwaliannya atau dalam keadaan darurat.”

Pengarang Asna al-Mathalib berkata lagi dalam bab Syuf’ah, “Apabila sang wali telah melaksanakan suatu transaksi berdasarkan kesepakatan sang anak, kemudian ketika telah menjadi dewasa, anak tersebut berkeinginan untuk membatalkan transaksi tersebut, maka hal itu tidak bisa dilakukan. Transaksi (akad) yang dianggap sah adalah akad yang keluar dari si anak yang berada dalam perwalian tersebut (baik ia mengucapkannya sendiri atau hanya menyetujui). Transaksi tersebut dianggap sah apabila pada waktu terjadinya akad, sang anak diambil sumpah, yang nantinya bisa dijadikan bukti setelah tiba masanya (setelah sembuh dari gila atau idiot, atau telah dewasa). Ini berlaku bila sang wali menjalankan transaksi berdasarkan persetujuan atau kerelaan sang anak. Jika transaksi yang terjadi adalah seperti itu, maka sang wali harus mengeluarkan bukti yang jelas akan adanya persetujuan si anak (kecuali bila wali itu adalah bapak atau kakeknya). Akan tetapi, apabila transaksi yang terjadi adalah selain karena persetujuan sang anak, maka tidak diperlukan bukti adanya sumpah dari sang anak, dan kesaksian sang wali tidaklah cukup.”

Dalam bab wakaf juga diterangkan, “Apabila seseorang menyewakan harta wakaf, lalu harga sewanya dinaikkan atau setelah terjadi akad sewa, orang yang hendak menyewa tahu dengan adanya kelebihan harga sewa, maka dia tidak bisa membatalkan akad sewa tersebut, meskipun akad sewanya berlaku untuk beberapa tahun. Hukum itu berlaku karena transaksi tersebut berlaku berdasarkan kerelaan/kelapangan hati pada saat terjadi transaksi. Karena itulah, maka hukum tersebut diserupakan terhadap hukum suatu kejadian apabila seorang wali menjual harta anak yang berada dalam perwaliannya, kemudian ternyata pada hari selanjutnya diketahui bahwa harga itu mengalami kenaikan atau pelonjakan di pasar atau adanya permintaan dari sang anak untuk menambah harga tersebut.”

Berdasarkan hukum tersebut, maka apabila penjualan salah satu aset anak yatim yang dilakukan oleh wali tadi telah sempurna pada waktu transaksi berdasarkan kerelaan sang anak-maksudnya adalah berdasarkan manfaat-atau dikarenakan terdesak, maka tidak ada hak bagi sang anak yatim tersebut untuk membatalkan akad, apabila dia telah beranjak dewasa.

Namun, apabila penggunaan harta anak yatim tadi dilakukan tanpa ada unsur kerelaan/maslahat atau bukan karena terdesak, maka anak yatim tadi boleh dan mempunyai hak untuk membatalkan akad/transaksi apabila dia telah dewasa.

Begitu juga hukum yang terjadi apabila transaksi tersebut tidak diketahui statusnya (apakah berdasarkan kerelaan, terdesak, ataupun tidak), dan kemudian si anak menggugat di hadapan hakim bahwa transaksi yang telah dilakukan walinya tidak berdasarkan persetujuan dia, dan ternyata sang wali juga tidak mampu menunjukkan bukti kuat yang menunjukkan bahwa transaksi itu berdasarkan persetujuan sang anak, maka seketika itu juga hakim langsung membatalkan transaksi yang telah terjadi. dar ifta kairo (al-azhar)

C. Hukum Akad Nikah dengan Satu Saksi

By Dar al-Ifta Mesir

Rabu, 29 April 2009 pukul 11:03:00

Pertanyaan

Apakah hukum pernikahan adat (pada saat akad hanya terdapat satu saksi dan tidak dihadiri oleh wali dari pihak perempuan), dan apa akibat dari pernikahan adat tersebut?

Jawaban

Sebagaimana telah ditetapkan bahwasanya di antara rukun-rukun yang bisa mengesahkan akad nikah adalah adanya dua saksi yang mendengar ijab qabul (serah terima) dari kedua mempelai.

Terkait dengan pertanyaan di atas, akad nikah tersebut tidak sah. Karena tidak memenuhi rukun nikah.

Akan tetapi, mempelai laki-laki tetap berkewajiban membayar mahar kepada mempelai wanita. Dan jika sampai terjadi hubungan suami-istri dan membuahkan anak atau hamil yang diperkirakan nanti bayinya bisa lahir dengan selamat, maka nasab anaknya tetap disandarkan pada mempelai laki-laki. Ini sama saja dengan nikah syubhat dan mereka berdua tetap harus dipisahkan./taq

D. Al-Azhar, Polemik Hukum Najis Parfum

By Republika Newsroom

Senin, 22 Juni 2009 pukul 17:00:00

KAIRO — Perdebatan seru tentang hukum menggunakan parfum beralkohol tengah terjadi antarulama Al-Azhar di Mesir. Mufti Besar Mesir Dr. Ali Jumua dalam bukunya yang baru terbit berjudul Fatawa Albaytil Muslim` (fatwa-fatwa keluarga muslim) menyatakan bahwa mengggunakan parfum beralkohol hukumnya boleh.

Sementara itu, Dr. Abdul Fatttah Idris, kepala jurusan fikih perbandingan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang sekaligus anggota kajian fikih Rabithah Alam Islami di Mekah, menentangnya. Sebab, menurut Idris, alkohol adalah bahan untuk minuman keras dan minuman keras adalah najis.

“Tidak boleh secara syar’i mempergunakan minyak wangi atau au de toilet yang mengandung alkohol. Sebab, alkohol merupakan bahan utama parfum yang dengan komposisinya mencapai 90% dari komponen lain,” katanya.

“Jadi, tidak benar jika dalam parfum tersebut dominan komponen air. Sementara parfum mengandum alkohol yang menjadi bahan utama khamar. Khamar, sesuai dengan firman Allah dalam Alquran, ia disebut rijz yang najis. Yang menentukan alkohol itu najis bukan keharamannya, tapi sudah dijelaskan Alquran,” kata Syekh Fattah.

Sementara dalam uraian Syekh Ali Jumua, alkohol tidak najis. Khamar meskipun haram diminum tapi ia tidak najis. “Segala sesuatu, asalnya adalah suci. Dan tidak harus sesuatu yang diharamkan itu najis. Karena penajisan sesuatu harus ada dalil tersendiri (mustaqil). Ulama besar seperti Rabi`ah, Allayts bin Sa`ad, ulama mutakhir Bagdad menyatakan meskipun khamar diharamkan tapi ia tetap suci. Yang diharamkan itu meminumnya.”

Diakui Jumua, bahwa pendapat ini berbeda dengan pendapat jumhur, sebagian besar ulama yang menyatakan bahwa sesuatu yang haram adalah najis. Tapi, kata Jumua, parfum itu tak seluruhnya alkohol, ada komponen lain yang dicampurkan. “Karena itu, parfum boleh dipakai dan tidak berpengaruh pada batalnya wudhu.”

Pendapat Jumua didukung Dr. Ahmad Abdurrahim Sayih, Guru besar Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. “Boleh mempergunakan parfum beralkohol karena bukan untuk tujuan dimunum dan dimakan. Parfum `kan hanya dimanfaatkan baunya. Terlebih, alkohol meski biasa dijadikan bahan utama khamar, tapi, zat diri alkohol itu tetap suci.” awast/mch/taq

E. Tanah Warisan dan wakaf

By Republika Newsroom
Kamis, 09 Juli 2009 pukul 14:50:00

Pertanyaan

Assalamu Alaikum Wr.Wb

Pak Ustadz Muchsinin, mohon nasihatnya untuk pembagian tanah warisan dengan kondisi sebagai berikut:

Ada 5 saudara kandung (3 Laki-laki dan 2 Perempuan) dan sebidang tanah T1 seluas 140m dan dan T2 plus bangunan seluas 406M2.

Dalam T2 terdapat bangunan Musholla dengan luas 140M2. Sementara T1 adalah milik salah satu anak perempuan.

Yang mau saya tanyakan:

1. Mohon nasihatnya untuk pembagian T2&Bangunan dengan Luas 406M2 mendapat bagian berapa perorangnya? Menurut hukum Islam persetujuan keluarga T2&Bangunan dibagi rata apakah sah-sah saja?

2. Dengan persetujuan keluarga bangunan musholla akan dipindahkan ke T1, apa hukumnya islam?

Terima kasih atas nasihatnya,

Hamba Allah

Wassalam Wr. Wb.

Jawaban

Wa’alaikumsalam Wr. Wb.

Berikut jawaban dari saya:

1. Untuk pertanyaan pertama, pembagiannya, 406 m dibagi 8 = 50.75 m2 dimana anak laki2 mendapatkan 101.15 m2 sedang anak perempuan mendapatkan 50.75m2. Hukum ini tidak dapat berubah atas nama kesepakatan. Yang bisa dilakukan adalah setelah diwaris dengan cara yang islami seperti ini maka masing-masing pihak boleh memberikan kepada saudaranya yang laian dan berlaku hukum shadaqah atau hibah. Terlepas dari hukum waris.

2. Untuk pertanyaan kedua, jika bukan wakaf maka bisa aja dipindahkan. Tetapi jika wakaf maka tidak boleh dipindahkan

3. Sebagai tambahan, ada baiknya dipastikan ahli waris selain 5 anak tersebut. Karena ahli waris tidak hanya anak. Istri, saudara bahkan ayah dari mayit misalnya termasuk orang-orang yang berhak mendapatkan waris. Tentu jika mereka ada (hidup).

Terimaksih, semoga bermanfaat.

Wa Allahu A’lam bi ash-shawab

Fatwa Al-Azhar

F. Hukum Inseminasi Buatan dan Bayi Tabung

Kamis, 14 Januari 2010, 11:31 WIB

Pertanyaan

Apa hukum inseminasi buatan dan bayi tabung? Dan apa hukum menyewa rahim?

Jawaban
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad

Melakukan pembuahan sel telur dengan sperma suami di luar rahim lalu menaruhnya kembali dalam rahim istri adalah dibolehkan. Hal ini tentu harus benar-benar dipastikan bahwa sel telur dan sperma itu milik pasangan suami istri tersebut, tidak tercampur dengan sperma atau sel telur orang lain. Selain itu, harus terdapat kondisi darurat untuk melakukannya, seperti jika salah satu suami istri atau keduanya mengidap penyakit yang menghalanginya melakukan pembuahan secara alami. Proses pembuahan di luar rahim ini pun harus dilakukan di bawah pengawasan dokter ahli dan terpercaya.

Adapun hukum sewa rahim adalah diharamkan. Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah (Lembaga Riset dan Fatwa al-Azhar) telah mengeluarkan keputusan nomor 1 tanggal 29 Maret 2001 yang mengharamkan penyewaan rahim. Para ulama fikih kontemporer pun sepakat mengenai keharamannya. Salah satu alasannya adalah karena tidak dapat dipastikan siapa ibu yang sebenarnya bagi bayi itu disebabkan terdapat pihak ketiga (pemilik rahim yang disewa). Sehingga timbul kerancuan tentang siapakah yang lebih berhak menjadi ibu bayi itu; apakah wanita pemilik sel telur yang darinya tercipta janin itu dan yang membawa seluruh sifat genitasnya, ataukah wanita yang di dalam rahimnya seluruh proses perkembangan bayi itu berlangsung hingga menjadi sosok yang sempurna?

Adanya perselisihan dan akibat negatif seperti ini bertentangan dengan tujuan dan maksud syariat Islam. Karena di antara tujuan syariat adalah menciptakan kestabilan, ketentraman dan menghilangkan pertikaian atau membatasinya pada skala sekecil mungkin.

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

Fatwa Al-Azhar

G. Hukum Mengambil Uang Tips

Kamis, 14 Januari 2010, 11:23 WIB

Pertanyaan

Ada seseorang yang bekerja di restoran untuk wisatawan. Setelah selesai makan, pembeli biasanya memberi tips kepada pelayan sebagai imbalan dari pelayanannya. Tidak ada keharusan atau paksaan terhadap pembeli untuk memberikan tips tersebut melainkan murni pemberian saja. Namun, pemilik restoran biasanya akan mengambil tips yang diberikan kepada pelayan jika dia mengetahui hal itu. Oleh karena itu, sebagian pelayan menyembunyikan tips tersebut agar tidak diketahui oleh pemilik restoran. Pertanyaannya: apakah tindakan para pelayan itu dibolehkan? Apakah tindakan pemilik restoran yang mengambil tips tersebut dari pelayan itu dibolehkan?

Jawaban
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad

Allah telah melarang kita memakan harta orang lain dengan cara tidak benar. Nabi SAW juga menjelaskan bahwasanya tidak halal bagi seorang muslim untuk mengambil harta muslim lainnya kecuali dengan kerelaannya.

Merupakan hal yang sudah dimaklumi, bahwa pelayan mempunyai hak kepemilikan uang yang terpisah dari hak kepemilikan uang pemilik restoran, begitu pula sebaliknya. Pemilik restoran juga menyewa pelayan untuk melakukan pekerjaan yang karenanya dia berhak mendapatkan bayaran. Dalam akad kerja antara pelayan dan pemilik restoran, juga tidak ada kesepakatan bahwa pemilik restoran berhak mengambil uang yang didapatkan oleh pelayan. Juga tidak ada hubungan perbudakan antara keduanya yang mungkin dijadikan alasan bahwa harta pelayan itu adalah milik pemilik restoran. Dalam akad tersebut hanya disepakati bahwa pelayan harus melakukan pekerjaannya dan pemilik restoran harus memberinya bayaran untuk pekerjaannya itu. Tidak ada alasan yang membolehkan pemilik restoran untuk mengambil apa yang diberikan pembeli kepada pelayan, karena bisa jadi pemberian itu merupakan sedekah, zakat, hibah atau hal lain yang pemilik restoran tersebut tidak termasuk orang yang berhak mendapatkannya. Bahkan uang itu bisa jadi haram bagi pemilik restoran, jika pemberi tidak rela jika tahu bahwa pemilik restoran mengambilnya. Pelayan juga tidak boleh mengambil uang yang diberikan oleh pembeli untuk pemilik restoran sebagai bayaran bagi makanan yang dia beli. Pemilik restoran juga tidak boleh menguasai apa yang diberikan oleh pembeli kepada pelayan sebagai imbalan bagi pelayanannya yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan pemilik restoran.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka secara syar’i pelayan boleh menyembunyikan tips yang diberikan pembeli kepadanya jika dia khawatir akan diambil oleh pemilik restoran apabila mengetahuinya. Di sisi lain, pemilik restoran tidak boleh mengambil tips tersebut selama pembeli atau pelayan tidak rela jika tips itu diambilnya, bahkan ketika itu uang tersebut telah menjadi haram baginya dan dia pun wajib membersihkan diri darinya.

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

H. Hukum Memakai Perhiasan Emas Putih bagi Pria

Rabu, 13 Januari 2010, 13:56 WIB

Pertanyaan

Apa hukum memakai jam tangan atau cincin yang terbuat dari emas putih bagi lelaki?

Jawaban
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad

Emas putih atau platinum boleh dipakai berdasarkan ijmak para ulama, karena emas putih bukanlah emas seperti yang banyak dikenal orang. Ia memang disebut dengan emas, namun penamaan ini bukanlah penamaan yang sebenarnya, karena hakikat (unsur kimia) antara emas yang sebenarnya dan emas putih ini berbeda.

Adapun yang haram dipakai oleh laki-laki adalah emas kuning seperti yang biasa dikenal orang, yaitu sebuah unsur kimia yang mempunyai nomor atom 79 dan memiliki massa atom 196,967. Dan di dalam hukum, yang menjadi ukuran adalah substansi, bukan nama atau istilah.

Terkadang, nama emas putih juga digunakan untuk menyebut campuran antara emas dan silikon. Untuk emas putih yang terakhir ini, para ulama berbeda pendapat antara membolehkan dan melarangnya. Tentu yang lebih baik adalah bersikap hati-hati dengan tidak memakainya, karena menganggapnya sama dengan emas kuning.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka jika yang dimaksud dengan emas putih dalam pertanyaan adalah platinum, maka berdasarkan ijmak ia halal untuk dipakai oleh laki-laki. Namun, jika yang dimaksud adalah campuran antara silikon dan emas kuning, maka sebaiknya tidak dipakai oleh laki-laki sebagai implementasi dari sikap wara’.

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

I. Mencangkok Sumsum Tulang

Rabu, 13 Januari 2010, 13:32 WIB

Pertanyaan

Apakah boleh melakukan pencangkokan sumsum tulang? Perlu kami sampaikan bahwa sumsum tulang bukanlah anggota tubuh, melainkan jaringan lunak yang diciptakan oleh tubuh dan tergantikan setelah berlangsung pendonoran terhadapnya.

Jawaban
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad

Secara syar’i tidak ada larangan terhadap pencangkokan sumsum tulang. Hal ini dianalogikan dengan kebolehan melakukan donor darah. Sumsum tulang dan darah merupakan materi di dalam tubuh yang tergantikan oleh tubuh setelah didonorkan.

Hukum donor darah sendiri adalah boleh jika keselamatan hidup orang lain atau salah satu anggota tubuhnya tergantung padanya. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, hal ini juga dibolehkan untuk mempercepat proses pemulihan kesehatan seseorang.

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

J. Hukum Fotografi

Rabu, 13 Januari 2010, 13:24 WIB

Pertanyaan

Apa hukum memajang foto kedua orangtua di ruang tamu dengan tujuan agar setiap orang yang melihatnya mendoakan keduanya agar mendapat ampunan dan rahmat dari Allah. Hal ini kami tanyakan karena ada sebagian orang yang mengatakan bahwa hal itu adalah haram.

Jawaban
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad

Mengambil gambar manusia atau hewan dengan memfotonya, serta memajangnya adalah dibolehkan. Hal itu tidak dianggap menyamai hak penciptaan yang hanya dimiliki Allah yang pelakunya diancam dengan siksaan yang berat. Kebolehan ini berlaku bila foto tersebut tidak termasuk jenis pornografi atau jenis lain yang dapat membangkitkan syahwat.

Maksud dari larangan menggambar yang pelakunya diancam dengan siksaan yang berat–sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis–-adalah membuat patung secara sempurna yang di dalamnya terealisasi maksud dari menyamai hak penciptaan yang hanya dimiliki Allah SWT.

Memfoto meski dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan membuat gambar, akan tetapi ia tidak diharamkan karena di dalamnya tidak terdapat ‘illat (sebab hukum) seperti dalam membuat patung. Dalam suatu kaidah dikatakan “Suatu hukum berlaku sesuai dengan ada-tidaknya ‘illat hukum tersebut” (al-hukmu yadûru ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman). Foto pada hakekatnya adalah proses menahan bayangan suatu obyek, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai menggambar kecuali dalam makna kiasan. Dalam tataran penetapan hukum, yang menjadi pedoman adalah hakekat suatu perbuatan bukan nama yang digunakan.

Berdasarkan pertanyaan dan penjelasan di atas, maka secara syarak dibolehkan untuk memajang foto kedua orang tua Anda dengan tujuan mulia tersebut, jika gambar ibu di foto tersebut dalam keadaan tertutup auratnya. Hukum ini tidak membedakan antara foto yang sempurna ataupun tidak. Jadi tidak seperti yang dikatakan sebagian orang kepada Anda, bahwa hal itu adalah diharamkan.

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

K. Hukum Membangun atau Merenovasi Masjid Menggunakan Uang Zakat

Rabu, 13 Januari 2010, 13:19 WIB

Pertanyaan

Ada sebuah masjid di desa kami yang dibangun puluhan tahun lalu. Bangunan masjid itu saat ini seperti akan ambruk. Dinding-dindingnya banyak yang retak sehingga menunjukkan bahwa masjid itu sebentar lagi akan runtuh. Menurut beberapa orang yang memahami masalah bangunan, masjid ini harus diruntuhkan lalu dibangun kembali. Kami telah mulai mengumpulkan sumbangan untuk pembangunan masjid tersebut. Namun, hasilnya sangat sedikit dibandingkan dengan dana yang dibutuhkan untuk membangunnya kembali.

Pertanyaannya adalah apakah boleh mengambil sebagian zakat pertanian penduduk desa untuk membangun masjid itu? Perlu diketahui jarak masjid itu dengan masjid terdekat di desa adalah sekitar lima ratus meter. Sehingga jarak yang cukup jauh itu membuat susah para orang tua, terutama untuk melakukan salat Subuh dan ketika hujan, jika masjid ini tidak dibangun kembali.

Jawaban
Dewan Fatwa Mesir

Para ulama telah menetapkan bahwa ada hak orang lain dalam harta seseorang selain zakat, di antaranya adalah sedekah secara umum, amal jariyah dan wakaf. Hal ini sesuai dengan firman Allah,

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Adz-Dzâriyât: 19).

Yang dimaksud dalam ayat di atas adalah hak orang miskin selain zakat, berbeda dengan firman Allah,

“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (Al-Ma’ârij: 24-25).

Dalam ayat terakhir ini yang dimaksud adalah hak orang miskin berupa zakat yang wajib dikeluarkan.

Sedekah, amal jariyah dan wakaf merupakan bagian dari amal kebajikan. Tanpa amal-amal kebajikan ini, konsistensi muslim dalam melakukan sujud, rukuk dan ibadah seseorang tidak akan sempurna. Allah berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Al-Hajj: 77).

Nabi saw. pun bersabda, “Sedekah dapat menghapus kesalahan, sebagaimana air dapat memadamkan api.”

Zakat merupakan kewajiban dan rukun Islam yang penyalurannya telah ditetapkan secara jelas dan terperinci dalam surat at-Taubah.
Allah berfirman:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 60).

Oleh karena itu, masjid bukanlah salah satu dari asnaf zakat yang delapan, karena tempat penyaluran zakat adalah manusia. Sehingga, kebutuhan manusia harus didahulukan daripada kebutuhan bangunan, dan kebutuhan orang yang bersujud didahulukan daripada kebutuhan tempat untuk bersujud.

Dengan demikian, sesuai dengan pertanyaan di atas, tidak boleh mendirikan masjid dengan uang zakat, tapi boleh menggunakan dana sedekah untuk keperluan tersebut. Sebagai solusi awal, dapat dibangun terlebih dahulu bagian tertentu dari masjid tersebut, agar dapat digunakan untuk melakukan salat, karena mempertimbangkan kondisi para jamaah yang sudah tua ataupun jamaah lain yang tidak dapat pergi ke masjid yang berjarak jauh. Kemudian setiap kali terkumpul dana, maka bangunan masjid tersebut dapat ditambah sesuai dengan kondisi keuangan tersebut. Hal ini untuk memenuhi kedua kemaslahatan di atas. Dan sesungguhnya yang menjadi standar bagi sebuah masjid bukanlah bangunan fisiknya, akan tetapi para jamaah yang meramaikannya. Allah berfirman,

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.(Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (An-Nûr: 36-38).

Rasulullah saw. juga bersabda, “Tujuh golongan orang yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya pada hari yang tiada naungan selain naungan-Nya,….. (salah satunya) dan seseorang yang hatinya terkait di masjid.” (Muttafaq alaih).

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

L. Hukum Bepergian untuk Berdakwah (Khuruj) ala Jamaah Tablig

Rabu, 13 Januari 2010, 13:10 WIB

Pertanyaan

Apa hukum khuruj atau bepergian untuk berdakwah yang dilakukan oleh kelompok Jamaah Tablig? Apakah perbuatan itu termasuk bid’ah?

Jawaban
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad

Khuruj yang dilakukan oleh Jamaah Tablig adalah perbuatan yang boleh dilakukan bagi orang yang mampu untuk berdakwah dengan sikap lembut, penuh hikmah, dan mampu memberi nasihat dengan baik serta bersikap ramah dan sopan kepada orang-orang. Selain itu, orang tersebut juga harus mengetahui dengan baik apa yang dia sampaikan kepada orang-orang, tidak menelantarkan keluarganya dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.

Adapun penetapan masa khuruj selama 4 hari, 40 hari dan lain sebagainya, hanyalah merupakan masalah teknis murni yang tidak ada hubungannya dengan masalah bid’ah. Ini selama pelakunya tidak meyakini bahwa penetapan jumlah hari itu adalah sesuatu yang disyariatkan.

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam

M. Hukum Memakai Cadar

Rabu, 13 Januari 2010, 13:04 WIB

Pertanyaan

Apakah memakai cadar hukumnya wajib? Ada sebagian ulama yang mewajibkannya dengan berpegang pada hadis Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa dia menutup wajahnya ketika sedang melakukan haji dan berpapasan dengan rombongan orang asing, sampai rombongan tersebut menjauh.

Jawaban
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad

Pakaian Islami yang diwajibkan atas perempuan Muslimah adalah semua pakaian yang tidak membentuk lekuk badan, tidak transparan, serta menutupi seluruh tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Tidak ada larangan baginya untuk memakai pakaian yang berwarna dengan syarat tidak mencolok, menarik perhatian atau memikat lawan jenis. Bila syarat-syarat ini dapat terealisasi pada suatu jenis pakaian tertentu, maka seorang muslimah boleh memakainya dan menggunakannya untuk berpergian (keluar rumah).

Adapun hukum memakai cadar yang menutup wajah bagi perempuan dan sarung tangan yang menutup kedua telapak tangannya, maka menurut jumhur (mayoritas) ulama adalah tidak wajib. Sehingga, seorang muslimah boleh membiarkan wajah dan kedua telapak tangannya terbuka. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT,

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (An-Nûr: 31).

Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan para ulama setelah mereka menafsirkan “perhiasan yang biasa tampak” dalam ayat di atas dengan wajah dan telapak tangan. Penafsiran ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Anas dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum.

Jumhur ulama juga berpegang pada ayat:

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khumur) ke dadanya (juyûb).” (Al-Ahzâb: 59).

Al-Khimâr adalah penutup kepala atau kerudung. Sedangkan al-jaib adalah bagian pakaian yang terbuka di atas dada. Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan seorang muslimah untuk menutup dadanya dengan kerudung. Seandainya menutup wajah merupakan suatu kewajiban, niscaya ayat tersebut juga akan menjelaskannya secara jelas.

Sedangkan dalil dari Sunnah adalah hadis yang diriwayatkan Aisyah r.a., bahwa Asma` binti Abu Bakar mengunjungi Rasulullah saw. dengan mengenakan pakaian yang tipis. Rasulullah saw. pun berpaling darinya seraya bersabda, “Wahai Asma`, seorang perempuan jika telah mencapai masa haid, tidak boleh ada yang terlihat darinya selain ini dan ini.” Beliau mengatakan demikian sembari menunjuk wajah dan telapak tangannya. (HR. Abu Dawud).

Dan masih banyak dalil lain yang secara tegas menjelaskan tidak wajibnya menutup wajah dan kedua telapak tangan.

Di lain pihak, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa seorang muslimah wajib menutup wajahnya. Mereka berpegang pada hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Aisyah r.a., bahwa dia berkata, “Rombongan-rombongan haji melintasi kami yang sedang dalam keadaan ihram bersama Rasulullah saw.. Jika salah satu rombongan itu sejajar dengan kami, maka setiap orang dari kami akan menurunkan jilbabnya dari arah kepalanya untuk menutupi wajahnya. Bila mereka telah menjauh dari kami, maka kami membuka wajah kami kembali.”

Hadis ini tidaklah menunjukkan kewajiban menutup wajah bagi perempuan, karena perbuatan sahabat sama sekali tidak menunjukkan suatu kewajiban. Hadis ini juga tidak menutup kemungkinan dikhususkan untuk para Ummul Mukminin (para istri Rasulullah saw.), sebagaimana kekhususan larangan menikahi mereka setelah Rasulullah saw. meninggal dunia. Di samping itu, sebagaimana diketahui dalam ilmu Ushul Fikih, bahwa peristiwa-peristiwa personal yang mempunyai hukum khusus untuknya, jika mengandung kemungkinan-kemungkinan hukum yang berbeda, maka ia mengandung makna global (ijmâl), sehingga tidak bisa digunakan sebagai dalil (inna waqâi’ al-ahwâl idzâ tatharraqa ilaihâ al-ihtimâl, kasâhâ tsaub al-ijmâl, fa saqatha bihâ al-istidlâl).

Imam Bukhari, dalam kitab Shahih-nya, meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seorang perempuan yang sedang melakukan ihram tidak boleh memakai cadar dan sarung tangan.”

Hadis ini menunjukkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita merdeka (bukan budak) bukanlah aurat. Bagaimana mungkin keduanya adalah aurat, padahal para ulama telah sepakat atas kebolehan membukanya ketika sedang melakukan salat dan kewajiban ketika sedang berihram. Karena sebagaimana diketahui, tidak mungkin suatu aurat boleh dibuka ketika salat, lalu wajib dibuka ketika berihram. Di samping itu hal-hal yang dilarang dalam ihram pada asalnya adalah hal-hal yang dibolehkan, misalnya memakai pakaian berjahit, minyak wangi, berburu dan lain-lain. Tidak satupun dari hal-hal yang dilarang itu awalnya adalah wajib lalu diharamkan karena ihram.

Kesimpulannya, menutup wajah dan telapak tangan bagi seorang wanita muslimah hukumnya tidaklah wajib, melainkan hanya masuk dalam wilayah kebolehan. Sehingga jika dia menutup wajah dan kedua telapak tangannya, maka hukumnya dibolehkan. Dan bila dia hanya menggunakan pakaian islami saja, tanpa menutup wajah dan telapak tangannya, maka dia telah melakukan kewajiban menutup aurat yang dibebankan atasnya.

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

Fatwa Al-Azhar

N. Hukum Memelihara Jenggot dan Meninggikan Ujung Celana

Rabu, 20 Januari 2010, 16:03 WIB

Pertanyaan

Akhir-akhir ini banyak bermunculan kelompok yang mewajibkan orang-orang atau pengikutnya untuk memelihara jenggot dan mengharamkan untuk mencukurnya. Mereka juga mengharuskan pengikutnya untuk meninggikan ujung celana dari mata kaki. Apa pendapat Yang Mulia Mufti mengenai hukum memelihara jenggot dan meninggikan ujung celana ini?

Jawaban
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad

Berkaitan dengan masalah jenggot, diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau juga merapikan dan memotong ujung-ujungnya sehingga terlihat rapi sesuai dengan bentuk wajah dan performen tubuh. Beliau juga memperhatikan kebersihan jenggotnya dengan mencucinya, menyela-nyelanya dan menyisirnya. Para sahabat beliau yang hidup setelahnya pun mengikuti apa yang dilakukan beliau tersebut.

Terdapat banyak hadis yang menganjurkan untuk memelihara jenggot dan merawatnya dengan baik, serupa dengan hadis-hadis yang menganjurkan untuk bersiwak, memotong kuku, kumis dan lain sebagainya. Sebagian ulama mengartikan perintah dalam hadis-hadis ini sebagai suatu kewajiban sehingga berpendapat bahwa mencukur jenggot adalah perbuatan haram.

Namun, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa perintah dalam hadis-hadis itu bukan bersifat wajib tapi hanya merupakan anjuran, sehingga menurut mereka memelihara jenggot merupakan perbuatan sunah yang pelakunya diberi pahala tapi orang yang meninggalkannya tidak dikenakan hukuman.

Dalil para ulama yang mengatakan bahwa mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan adalah hadis-hadis yang memerintahkan untuk memelihara jenggot agar berbeda dengan orang-orang Majusi dan kaum musyrikin.

Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anhâ dari Rasululllah SAW, beliau bersabda, “Sepuluh hal termasuk perbuatan fitrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirup air untuk membersihkan hidung, memotong kuku, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan membersihkan kemaluan dengan air setelah buang air.”

Seorang perawi berkata, “Saya lupa yang kesepuluh. Kalau tidak salah ia adalah berkumur.”

Sedangkan kelompok lain –yaitu para ulama Syafi’iyah– berpendapat bahwa perintah-perintah yang berkaitan dengan kebiasaan, makan, minum, berpakaian, duduk, penampilan dan lain sebagainya, diartikan sebagai anjuran, karena terdapat indikasi (qarînah) –yang mengubah perintah itu dari kewajiban menjadi anjuran– tentang keterkaitan perintah-perintah itu dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan tersebut. Para ulama ini juga memberikan contoh dengan perintah untuk menghitamkan rambut dan melakukan salat dengan memakai sandal dan sejenisnya. Hal ini sebagaimana penjelasn Ibnu Hajar dalam Fath al-Bârî.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat perbedaan ulama berkaitan dengan boleh tidaknya mencukur jenggot. Dalam kaidah fikih dinyatakan bahwa keluar dari masalah yang diperdebatkan adalah dianjurkan. Dan terdapat kaedah lain: barang siapa yang diuji dengan terpaksa harus melakukan perbuatan yang diperselisihkan kebolehannya dan dia tidak dapat menghindarinya, maka ia hendaknya mentaklid (mengikuti) ulama yang membolehkan.

Adapun masalah meninggikan ujung celana, maka pada dasarnya hukum memakai pakaian adalah boleh selama tidak ada niat berlebih-lebihan atau bersikap sombong. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhumâ dari Nabi SAW, beliau bersabda,

“Makanlah, minumlah, bersedekahlah dan berpakaianlah kalian tanpa berlebihan dan sikap sombong.” (HR. Ahmad, Nasa`i dan Ibnu Majah. Hadis ini dishahihkan oleh Hakim).

Berdasarkan makna inilah hadis-hadis larangan isbâl (memanjangkan celana melebihi mata kaki) ditafsirkan, seperti sabda Rasulullah saw.,

“Ujung pakaian yang berada di bawah kedua mata kaki tempatnya adalah neraka.” (HR. Bukhari).

Nabi SAW juga bersabda,

“Tiga orang yang pada hari Kiamat tidak akan diajak bicara, tidak dipandang dan tidak disucikan oleh Allah serta mendapatkan siksa yang pedih”. Rasulullah SAW mengucapkan hal itu tiga kali. Lalu Abu Dzar berkata, “Sengsara dan merugilah mereka, siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang memanjangkan pakaiannya hingga di bawah mata kaki, orang yang menyebarkan adu domba dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu”. (HR Muslim).

Hadis ini diartikan sebagai ancaman terhadap orang yang melakukannya karena sombong sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis yang lain, seperti hadis Abdullah bin Umar r.a. yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain bahwa Nabi SAW bersabda,

“Pada hari Kiamat, Allah tidak memandang orang yang menyeret pakaiannya (yang panjang) dengan sombong.”

Oleh karena itu, lafal larangan memanjangkan ujung pakaian yang bersifat mutlak dalam hadis-hadis tersebut, harus dibatasi dengan sikap sombong sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi. Imam Syafi’i telah menjelaskan secara tegas tentang perbedaan antara orang yang melebihkan pakaiannya karena sombong dan yang tidak sombong.

Di dalam kitab ash-Shahîh, Imam Bukhari membuat sebuah bab dengan judul: Bab Orang yang Menyeret Sarungnya tanpa Sikap Sombong. Dalam bab itu beliau menyebutkan hadis Ibnu Umar r.a. bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, salah satu sisi kain sarung saya melorot kecuali jika saya selalu memeganginya. Maka Rasulullah SAW bersabda,

“Kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong.”

Begitu pula hadis Abi Bakrah r.a., ia berkata, “Terjadi gerhana matahari ketika kami sedang bersama Rasulullah SAW. Lalu beliau berjalan dengan terburu-buru ke masjid sambil menyeret kain sarungnya. Orang-orang pun segera bangkit. Beliau kemudian melakukan salat dua rakaat hingga gerhana tersebut hilang. Lalu beliau menghadap kepada kami dan berkata,

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah. Jika kalian melihatnya maka lakukanlah shalat dan berdoalah kepada Allah hingga Allah menyingkapnya kembali.”

Kedua hadis ini secara tegas dan jelas bahwa memanjangkan ujung pakaian hingga di bawah mata kaki (isbâl) yang diharamkan adalah yang dilakukan dengan maksud sombong. Jika tidak maka tidak haram karena keberadaan sebuah hukum mengikuti keberadaan illat hukum itu.

Syariat juga telah memberikan ruang bagi tradisi dan kebiasaan sebuah masyarakat dalam menentukan bentuk pakaian dan penampilan. Rasulullah SAW melarang seseorang memakai pakaian yang menarik perhatian orang yang berbeda dengan pakaian masyarakat pada umumnya. Beliau bersabda,

“Barang siapa yang memakai pakaian yang menarik perhatian orang-orang (karena berbeda dengan warna pakaian mereka) maka Allah akan memakaikan pakaian kehinaan padanya pada hari Kiamat.” (HR. Abu Dawud dan Ibu Majah dari hadis abdullah bin Umar r.a. serta dihasankan oleh al-Hafizh al-Mundziri).

Para sahabat sendiri ketika memasuki kota Persia mereka melakukan salat dengan memakai celana orang-orang Persia. Para ulama juga menyebutkan jika terdapat kesepakatan masyarakat untuk memanjangkan sebagian jenis pakaian yang biasa dipakai, sehingga setiap masyakarat memiliki ciri khas tersendiri yang diketahui oleh mereka, maka hal itu tidak diharamkan, tapi yang diharamkan adalah yang digunakan dengan niat menyombongkan diri.

Seorang muslim yang mencintai Sunnah hendaknya mengetahui masalah ini, juga memahami zamannya dan dapat menerapkan Sunnah-sunnah Nabi SAW secara baik dalam masyarakat. Sehingga, ia dapat membuat mereka tertarik dan senang dengan Sunnah-sunnah tersebut dan tidak menimbulkan fitnah yang membuat mereka menjauh mereka dari agama ini.

Hendaknya seorang muslim juga dapat membedakan antara Sunnah yang berasal dari tabiat manusia, Sunnah yang berasal dari tata cara sesuai kebiasaan atau tradisi masyarakat dan jenis Sunnah-sunnah yang lain. Ia juga harus memperhatikan skala prioritas dalam penerapan Sunnah-sunnah tersebut, sehingga tidak mendahulukan yang bersifat anjuran dari yang bersifat wajib, atau lebih memperhatikan penampilan luar dengan mengabaikan sisi batin serta interaksi dengan baik di masyarakat.

Seorang muslim juga hendaknya dapat memilih sunnah yang dapat dipahami masyarakat sehingga tidak menjadi bumerang yang mengakibatkan terjadinya pelecehan dan penolakan terhadap Sunnah itu sendiri. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ali karamallahu wajhah, “Bicaralah kepada orang-orang sesuai dengan pemahaman mereka dan tinggalkan hal-hal yang mereka benci. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR. Bukhari dan lainnya). Abdullah bin Mas’ud r.a. juga pernah berkata, “Tidaklah kamu berbicara kepada satu kaum tentang persoalan yang tidak mereka pahami kecuali persoalan itu dapat menjadi bencana bagi sebagian mereka.” (HR. Muslim).

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam

Fatwa Al-Azhar

O. Hukum Menghilangkan atau Merapikan Bulu Alis

Selasa, 19 Januari 2010, 11:20 WIB

Pertanyaan

Apakah menghilangkan bulu alis yang berlebihan adalah haram? Dan, apakah menghilangkan bulu yang tumbuh di antara kedua alis juga haram?

Jawaban
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berkata, “Semoga Allah melaknat para wanita yang membuat tato dan yang minta dibuatkan tato, para wanita yang mencabut bulu alis dan yang minta dicabutkan bulus alisnya, para wanita yang mengikir giginya supaya indah, (yaitu) para wanita yang mengganti ciptaan Allah.” Pernyataan Ibnu Mas’ud itu akhirnya terdengar oleh seorang perempuan dari Bani Asad yang bernama Ummu Ya’kub. Dia lalu mendatangi Ibnu Mas’ud dan berkata, “Saya mendengar bahwa engkau melaknat wanita yang melakukan ini dan itu.” Ibnu Mas’ud pun menjawab, “Mengapa saya tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah saw. dan yang disebutkan di dalam Alquran, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya atasmu, maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)

Arti kata an-namsh adalah mencabut bulu alis. Terdapat dua pendapat di kalangan para ahli bahasa mengenai masuknya bulu-bulu lain yang tumbuh di wajah ke dalam larangan ini. Perbedaan inilah yang mendasari perbedaan ulama mengenai hukum mencabut bulu selain bulu alis; antara yang menghalalkan dan yang mengharamkannya.

Sedangkan an-nâmishah adalah perempuan yang mencabut bulu alisnya atau bulu alis orang lain. Dan al-mutanammishah adalah perempuan yang menyuruh orang lain untuk mencabut bulu alisnya.

Ancaman dalam bentuk laknat dari Allah SWT atau Rasulullah SAW atas suatu perbuatan tertentu merupakan pertanda bahwa perbuatan itu termasuk dalam dosa besar. Sehingga mencabut bulu alis bagi wanita adalah haram jika dia belum berkeluarga, kecuali untuk keperluan pengobatan, menghilangkan cacat atau guna merapikan bulu-bulu yang tidak beraturan. Perbuatan yang melebihi batas-batas tersebut, hukumnya adalah haram.

Sedangkan perempuan yang sudah berkeluarga, dia boleh melakukannya jika mendapat izin dari suaminya, atau terdapat indikasi yang menunjukkan izin tersebut. Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Mereka beralasan bahwa hal itu termasuk bentuk berhias yang diperlukan sebagai benteng guna menjauhi hal-hal tidak baik dan untuk menjaga kehormatan (‘iffah). Maka secara syar’i, seorang istri diperintahkan untuk melakukannya demi suaminya.

Dalam hal ini, mereka berpegang pada hadis yang diriwayatkan dari Bakrah binti Uqbah, bahwa dia bertanya kepada Aisyah mengenai hukum mencabut bulu di wajah. Aisyah pun menjawab, “Jika kamu mempunyai suami, lalu kamu sanggup mencungkil kedua biji matamu sehingga kamu bisa membuatnya tampak lebih indah dari sebelumnya, maka lakukanlah.” Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Ahkâm an-Nisâ` karya Ibnu Jauzi.

Selain itu, ath-Thabari meriwayatkan dari istri Abu Ishak, bahwa pada suatu hari dia berkunjung kepada Aisyah. Istri Abu Ishak itu adalah seorang gadis yang suka berhias. Dia berkata kepada Aisyah, “Apakah seorang perempuan boleh mencabut bulu di sekitar keningnya demi suaminya?” Aisyah menjawab, “Bersihkanlah dirimu dari hal-hal yang mengganggumu semampumu.”

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

Fatwa Al-Azhar

P. Hukum Operasi Selaput Dara

Kamis, 14 Januari 2010, 17:51 WIB

Pertanyaan

Bolehkah seorang perempuan melakukan operasi untuk mengembalikan selaput daranya seperti sedia kala?

Jawaban
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad

Sebagaimana diketahui secara umum dalam syariah, bahwa Islam mengajak umatnya untuk menjaga kehormatan dan sangat membenci perbuatan zina serta menganggapnya sebagai salah satu perbuatan dosa besar. Islam juga memerintahkan umatnya untuk menutup semua jalan yang mengarah kepada maksiat tersebut, seperti memandang perempuan asing, berkhalwat dan lain sebagainya. Allah berfirman,

“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isrâ`: 32).

Islam juga menjadikan had sebagai hukuman pelaku zina jika perbuatan itu sampai kepada penguasa. Firman Allah,

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera.” (An-Nûr: 2).

Namun demikian, dalam Islam, jika seseorang terjerumus ke dalam maksiat maka secara hukum asal hendaknya dia menutupi maksiat itu. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda,

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Dia tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh pula menjerumuskannya kepada kesulitan. Barang siapa yang membantu keperluan saudaranya, maka Allah akan membantu keperluannya. Barang siapa yang meringankan kesulitan seorang muslim, maka Allah akan meringankan salah satu kesulitannya pada hari kiamat. Dan barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.”

Kaum muslimin juga dilarang untuk menyebarkan dan membuka maksiat yang ditutupi oleh Allah. Allah berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah Maha Mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (An-Nûr: 19).

Hal ini pun sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda,

“Setiap umatku dimaafkan perbuatan dosanya kecuali orang-orang yang membuka aibnya sendiri. Salah satu bentuk membuka aib itu adalah seorang hamba yang melakukan maksiat di malam hari, lalu hingga pagi Allah menutupi maksiatnya tersebut. Akan tetapi ketika pagi dia justru berkata kepada orang lain, “Wahai Fulan, saya tadi malam berbuat begini dan begitu.” Sungguh Allah menutupi perbuatan maksiatnya itu ketika malam, akan tetapi dia malah membuka tabir Allah itu dari dirinya ketika pagi.” (HR. Bukhari).

Para ulama mazhab Hanafi menegaskan bahwa bila selaput dara seorang perempuan terkoyak karena perbuatan zina khafiy (perbuatan zina yang tidak sampai kepada penguasa sehingga pelakunya tidak dihukum had) atau perempuan itu tidak berprofesi sebagai penjaja seks sehingga dia telah terbiasa melakukannya, maka dia dihukumi sebagai perawan meskipun pada hakikatnya dia bukan perawan. Dia pun dapat menikah sebagaimana para perawan lainnya. Bahkan, dia tidak harus menyetujui secara terang-terangan untuk menikah, karena posisinya disamakan dengan para perawan. Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah saw. memerintahkan para wali untuk meminta persetujuan seorang gadis perawan jika hendak menikahkannya. Beliau bersabda,

“Seorang perawan dimintai persetujuannya. Dan sikap diamnya merupakan izin darinya.”

Para ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa alasan mengenai hal itu adalah karena memintanya untuk berbicara dapat membuka aibnya, padahal syariat menganjurkan agar menutupi maksiat. (Lihat: Majma’ al-Anhur fî Syarh Multaqa al-Abhur).

Dalam kitab Nashb ar-Râyah dikatakan, “Menurut Abu Hanifah, jika masyarakat mengetahuinya sebagai seorang perawan, maka mereka akan mencelanya jika dia mengakui perbuatan zinanya. Oleh karena itulah, dia tidak perlu untuk mengakuinya. Dengan demikian, cukuplah sikap diamnya (sebagai bentuk persetujuan nikahnya) agar maslahatnya tidak terabaikan.”

Dari penjelasan di atas, seorang perempuan dengan kondisi di atas boleh melakukan operasi untuk mengembalikan selaput daranya guna mencegah akibat buruk yang dapat terjadi jika dia tidak melakukan operasi itu, meskipun hal itu tidak akan terjadi kecuali di masa mendatang. Seorang dokter pun boleh melakukan operasi tersebut meskipun dengan menetapkan biaya tertentu.

Namun jika perempuan itu telah diketahui secara umum sebagai pelaku zina –wal ‘iyâdz billah (semoga Allah melindungi kita dari kemaksiatan itu)— atau perempuan itu telah dihukum had atas perbuatan zinanya, maka dia tidak boleh melakukan operasi tersebut. Hal itu karena illat (sebab hukum) kebolehan operasi tersebut tidak ditemukan dalam masalah terakhir ini.

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.


Fatwa Al-Azhar

Q. Hukum Asuransi

Kamis, 14 Januari 2010, 17:26 WIB

Pertanyaan

Saya adalah seorang pengacara. Kantor saya mendapatkan sejumlah perkara berkaitan dengan tuntutan kompensasi atas kematian atau kecelakaan kepada perusahaan asuransi. Dalam perkara tersebut, para ahli waris korban ingin mengajukan tuntutan kepada perusahaan asuransi tempat mobil yang mengalami kecelakaan itu diasuransikan. Namun, ada sebagian ahli waris yang masih ragu mengenai kebolehan menuntut kompensasi itu. Seandainya pengadilan memenangkan perkara mereka, apakah uang kompensasi yang mereka terima adalah halal?

Jawaban
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad

Kompensasi materi yang diberikan oleh perusahaan asuransi adalah halal menurut syariat Islam, karena uang tersebut merupakan hasil dari suatu akad yang dibolehkan oleh sebagian besar ulama kontemporer. Menurut mereka, akad asuransi adalah termasuk akad tabarru’ (pemberian sukarela) sehingga tidak terlalu diperhatikan adanya unsur ketidakjelasan yang nyata (al-gharar al-fâkhisy), karena hal itu tidak menyebabkan terjadinya perselisihan antara kedua pihak yang melakukan akad. Hal ini berbeda dengan akad mu’awadhah (pertukaran) yang di dalamnya hanya ditolerir ketidakjelasan yang ringan (al-gharar al-yasîr) yang tidak menimbulkan perselisihan sebagaimana yang dijelaskan dalam fikih.

Dengan demikian, mengambil kompensasi asuransi adalah dibolehkan menurut syariat. Dibolehkan juga mengajukan tuntutan kepada pengadilan guna mendapatkan kompensasi tersebut dan mengambil upah dari tuntutan tersebut. Hal ini dengan syarat semua itu dilakukan dengan penuh amanah serta jauh dari kecurangan, penyesatan dan tindakan mengambil harta orang lain dengan cara tidak benar.

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

Fatwa Al-Azhar

R. Hukum Salat di Atas Kasur

Kamis, 14 Januari 2010, 17:14 WIB

Pertanyaan

Kami membuat sebuah kasur tipis yang panjangnya empat meter dan lebarnya satu meter seperempat. Ukuran ini kami sesuaikan dengan luas ruangan tempat kami melakukan salat. Kasur itu kami buat sebagai alas dalam salat. Kasur tersebut terbuat dari dua potong kain bersih yang diisi dengan busa tipis yang ukurannya tidak lebih dari satu setengah centimeter, bahkan mungkin lebih tipis dari itu. Kasur ini dapat menampung delapan orang yang melakukan salat di tempat itu. Jika orang yang hendak salat lebih banyak dari itu, maka sisanya akan salat di atas permadani biasa yang sudah usang. Kasur itu tentu saja membuat kami lebih nyaman, terutama bagi orang lanjut usia seperti saya yang biasanya mempunyai masalah pada lutut. Banyak orang telah melihat kasur itu dan senang melaksanakan salat di atasnya. Tiba-tiba, kami dikejutkan dengan seseorang yang mengingkari itu. Karena itulah, kami memohon penjelasan yang benar mengenai hal ini.

Jawaban
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad

Para ahli fikih dari kalangan Ahlus Sunnah sepakat atas ketidakharusan melakukan salat di atas benda yang berasal dari unsur bumi, seperti debu, krikil dan lain sebagainya. Salah seorang ulama Syafi’iyah, Syekh al-Khatib asy-Syarbini, dalam kitab Mughnî al-Muhtâj, menyatakan: “Kaum muslimin, selain kelompok Syiah, berijmak atas kebolehan melakukan salat di atas kulit binatang (wol) atau benda yang terbuat darinya. Tidak ada kemakruhan sama sekali untuk melakukan salat di atasnya, kecuali Malik yang berpendapat bahwa itu adalah makruh tanzihi. Sedangkan Syiah berpandangan bahwa tidak boleh melakukan salat di atasnya karena wol bukan berasal dari unsur tumbuhan bumi.”

Keabsahan salat pun tidak terpengaruh dengan tebal tipisnya alas yang digunakan untuk salat, selama dahi dapat menempel sempurna dan tidak bergerak-gerak di atas alas tersebut ketika bersujud.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah melaksanakan salat di atas kasur istrinya sedangkan Aisyah berbaring di antara beliau dan kiblat seperti terbaringnya jenazah.” Bukhari membuat judul untuk bab yang berisi hadis tersebut dengan nama Bab “Salat di Atas Kasur”. Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fath al-Bârî, berkata, “Dengan nama judul ini, Bukhari hendak mengisyaratkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih dari Ibrahim an-Nakha’i dari al-Aswad dan sahabat-sahabatnya, bahwa mereka tidak suka (menganggap makruh) melakukan salat di atas permadani, karpet yang terbuat dari kulit binatang dan pakaian yang tebuat dari bahan kasar. Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari beberapa orang sahabat dan tabi’in mengenai kebolehan hal itu.”

Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah r.a., dia berkata, “Rasulullah saw. melakukan salat –atau menyukai untuk melakukan salat– di atas karpet yang terbuat dari kulit binatang yang telah disamak.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr. Ini adalah redaksi Ahmad. Ibnu Khuzaimah dan Hakim menshahihkan hadis ini. Hakim berkata, “Ini adalah hadis shahih sesuai dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), tapi keduanya tidak meriwayatkannya. Hanya saja, Muslim meriwayatkan hadis serupa dari Abu Said mengenai salat di atas tikar.” Imam Dzahabi berkata, “Hadis ini sesuai dengan syarat Muslim.”).

Hadis di atas, meskipun terdapat beberapa ulama yang mendhaifkan sanadnya, hanya saja ia telah terangkat kepada derajat hasan karena terdapat beberapa riwayat lain yang mempunyai makna serupa. Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dari Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, apakah saya boleh salat di atas karpet kulit?” Maka beliau pun menjawab, “Kalau tidak boleh, bagaimana nasib penyamak kulit itu?”

Syekh as-Sindi dalam Hasyiyah ‘alâ al-Musnad menyatakatan, “Maksudnya adalah jika kamu tidak boleh salat di atas karpet kulit, maka kegiatan menyamak kulit akan hilang, padahal tujuannya adalah untuk membersihkan kulit sehingga dapat digunakan untuk salat di atasnya. Jika tidak boleh melakukan salat di atas karpet kulit maka tidak ada gunanya lagi menyamak kulit.”

Al-Hafizh ath-Thuyuri (salah seorang ulama Hambali), dalam kitab ath-Thuyûriyyât, meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. melakukan salat di atas permadani.

Kebolehan ini pun diriwayatkan dari sejumlah orang sahabat dan para ulama salaf. Mereka juga pernah melakukan salat di atas alas yang tebal, seperti kasur, bantal untuk bersandar, bantal biasa, bantal tempat duduk penunggang binatang, permadani, bantal untuk pelana unta, permadani tebal, karpet kulit, pakaian kasar terbuat dari bulu, kain yang diletakkan di atas punggung hewan di bawah pelana, kain tebal dari bahan wol dan lain sebagainya.

Imam Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah, dalam al-Mushannaf, dalam bab mengenai orang sakit yang melakukan sujud di atas bantal untuk tidur atau untuk menyandar, meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata, “Orang sakit boleh melakukan sujud di atas bantal dan pakaian yang bersih.”

Diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa ketika dia sakit radang mata, dia melakukan salat di atas bantal kulit. Anas bin Malik r.a. juga pernah bersujud di atas bantal yang digunakan untuk menyandar. Sedangkan Abu Aliyah, ketika sakit dia bersujud di atas bantal yang disiapkan untuknya. Begitu juga Hasan al-Bashri, dia membolehkan seseorang bersujud di atas bantal ketika berada di atas kapal laut.

Adapun mengenai salat di atas kasur, maka diriwayatkan bahwa Anas r.a. pernah salat di atas kasurnya. Begitu juga Thawus yang melakukan itu ketika sakit.

Ibnu Abi Syaibah juga menyebutkan riwayat mengenai salat di atas pakaian kasar dari bulu. Hal ini diriwayatkan dari Ali, Jabir, Abu Darda`, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum. Sedangkan dari kalangan tabi’in diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz bahwa dia membolehkan salat di atas pakaian yang terbuat dari bahan kasar. Namun, sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Aswad dan para sahabatnya tidak menyukai salat di atas permadani, karpet kulit dan kain dari bahan kasar.

Mengenai masalah salat di atas permadani, diriwayatkan dari Abu Darda` bahwa dia berkata, “Saya tidak peduli jika saya salat di atas tumpukan enam permadani.” Said bin Jubair berkata, “Ibnu Abbas melakukan salat Magrib bersama kami di atas permadani yang menutupi seluruh lantai rumah.”

Abdullah bin ‘Ammar berkata, “Saya melihat Umar melakukan salat di atas permadani tebal.” Hasan Bashri berkata, “Tidak apa-apa salat di atas permadani.” Diriwayatkan pula dari Hasan Bashri bahwa dia pernah melakukan salat di atas permadani. Kedua kaki dan lututnya di atas permadani tersebut sedangkan wajahnya berada di tanah atau di tikar bambu. Diriwayatkan juga dari Qais bin Abbad al-Qaisi bahwa dia pernah melakukan salat di atas kain yang terbuat dari wol. Hal itu juga diriwayatkan dari Murrah al-Himdani.

Adapun tentang salat di atas alas kulit, maka diriwayatkan dari Masruq bahwa dia menyembelih hewan kurban lalu menyamaknya dan memakainya sebagai alas untuk salat. Hal ini juga diriwayatkan dari Alqamah. Abdurrahman bin Aswad juga melakukan salat di rumahnya di atas alas yang terbuat dari kulit domba, sehingga bulu-bulunya muncul di sela-sela kedua kakinnya. Sedangkan diriwayatkan dari Aswad dan para sahabatnya bahwa mereka tidak menyukai salat di atas alas kulit.

Dalam al-Muhallâ, Ibnu Hazm berkata, “Permasalahan: melakukan salat di atas kulit adalah boleh. Begitu juga boleh salat di atas wol dan semua benda yang boleh diduduki jika dia suci. Seorang perempuan boleh melakukan salat di atas kain sutra. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Syafi’i, Abu Sulaiman dan lainnya. Atha` berkata, “Tidak boleh salat kecuali di atas tanah dan pasir.” Malik berkata, “Hukumnya makruh melakukan salat di atas alas yang terbuat dari selain unsur bumi atau tanaman yang ditumbuhkannya.” Ali (Ibnu Hazm) berkata, “Pendapat ini tidak mempunyai dalil yang membenarkannya. Diwajibkan sujud dengan tujuh anggota tubuh, yaitu kedua kaki, kedua lutut, kedua tangan, dahi dan hidung. Malik membolehkan meletakkan semua anggota ini –selain dahi— di atas semua hal yang saya sebutkan di muka. Apa yang membedakan antara dahi dengan anggota tubuh yang lain? Tidak ada dalil yang membedakan semua itu, baik dari Alquran, Sunnah yang shahih ataupun yang tidak, ijmak, kiyas, perkataan sahabat maupun ulama. Kami telah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa dia melakukan salat di atas pakaian kasar yang terbuat dari bulu, Umar pernah melakukan sujud di atas alas yang terbuat dari wol, Ibnu Abbas bersujud di atas permadani dari wol, begitu juga Abu Darda`. Pendapat Malik ini juga disetujui oleh Syuraih, Zuhri dan Hasan. Sedangkan pendapat yang kami pilih maka tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat radhiyallahu ‘anhum yang menentangnya.”

Para fuqaha dari mazhab-mazhab yang diikuti memberikan syarat mengenai tempat sujud yaitu berupa tempat keras yang dapat membuat dahi orang yang salat menempel dengan baik di bumi.

Pada mazhab Hanafi, Imam Sarkahsi dalam al-Mabsûth menyatakan, “Tidak apa-apa salat di atas salju jika dahinya dapat menempel dengan baik ketika melakukan sujud.” Maksudnya adalah hendaknya tempat sujudnya tersebut keras, karena dengan demikian dahinya tersebut terasa menempel di tanah. Tapi, jika permukaannya tidak keras sehingga tidak menempel di tanah, maka tidak sah, karena itu seperti melakukan sujud di udara. Dengan demikian, jika seseorang sujud di atas rumput atau kapas jika dahinya terasa menempel di tanah, maka sujud tersebut sah, jika tidak maka tidak sah. Begitu juga, jika salat di atas permadani yang diisi sesuatu, maka salat itu akan sah jika tempat sujudnya kempal, kecuali menurut Malik. Diriwayatkan dari beberapa orang sahabat bahwa mereka berkata, “Saya tidak peduli jika salat di atas sepuluh permadani atau lebih.”

Dalam kitab Badâi’ ash-Shanâi’, al-Kasani berkata, “Jika seseorang melakukan sujud di atas rumput atau kapuk lalu dahinya masuk ke dalam sehingga merasakan permukaan tanah maka salatnya sah. Jika tidak maka tidak sah. Begitu juga, jika dia salat di atas permadani tebal, maka salatnya sah jika permukaannya keras. Begitu juga, salat di atas salju jika permukaannya keras, jika tidak maka tidak sah.”

Imam Kamal bin Humam, dalam Fath al-Qadîr, menyatakan: “Seseorang boleh melakukan sujud di atas rumput, jerami, kapas dan permadani jika dia merasakan permukaan bumi. Begitu juga, boleh salat di atas salju yang keras. Jika dia telah membenamkan kepalanya ke dalam benda-benda tadi tapi tidak merasakan permukaan tanah, maka tidak sah. Begitu juga, bersujud di atas gerobak yang menempel di tanah, sebagaimana halnya ranjang. Dan tidak sah jika gerobak itu berada di atas sapi, seperti kain yang diikat di antara beberapa pohon. Boleh juga bersujud di atas ‘irzal dan gandum, tapi tidak boleh di atas jewawut dan beras karena tidak tetap.”

Dalam al-Fatâwâ al-Hindiyyah disebutkan: “Jika seseorang bersujud di atas rumput, jerami, permadani atau salju, lalu dahi dan hidungnya stabil serta merasakan permukaan bumi, maka dibolehkan. Jika tidak maka tidak boleh.”

Ibnu ‘Abidin, dalam al-Hasyiyah, ketika menjelaskan perkataan asy-Syaranbalali, “Syarat sujud adalah menetapnya dahi,” menyatakan, “Kata “syarat sujud” adalah subyek (al-mubtada`). Sedangkan kata “adalah menetapnya” merupakan prediket (al-khabar). Kata “dahi”, maksudnya seseorang diharuskan bersujud di atas sesuatu yang dapat dia rasakan permukaannya. Sehingga, jika orang yang bersujud itu ingin terus membenamkan kepalanya, dia tidak dapat membenamkannya lebih dalam lagi dari yang dia lakukan saat itu. Dengan demikian, tidak boleh bersujud di atas benda seperti beras dan jagung, kecuali jika berada di dalam karung. Tidak boleh juga bersujud di atas kapas, salju dan kasur kecuali jika dia merasakan permukaan lantai.”

Dia juga mengatakan, “Maksud merasakan permukaan lantai adalah bahwa orang yang bersujud jika terus membenamkan kepalanya, dia tidak akan dapat menambah lebih dalam dari keadaannya itu. Dengan demikian, boleh salat dengan bersujud di atas permadani, tikar, gandum, ranjang dan gerobak jika menempel di tanah. Tetapi, tidak sah salat dengan bersujud di atas tandu yang ada di atas punggung hewan, kain yang terbentang antara beberapa pohon serta beras dan jagung kecuali jika ada dalam karung. Begitu juga, tidak boleh bersujud di atas salju jika tidak keras, sehingga jika seseorang membenamkan kepalanya dia tidak dapat merasakan permukaan tanah. Begitu juga, tidak boleh pada rumput kecuali jika merasakan permukaan tanah. Dari sini dipahami kebolehan memakai pakaian yang terbuat dari kapas jika dia merasakan permukaan bumi.”

Pengarang Marâqî al-Falâh mengatakan, “Salah satu syarat sujud adalah melakukannya di atas sesuatu yang dapat dirasakan permukaannya, dimana dia tidak dapat terus membenamkan kepalanya lebih dalam dari posisinya itu. Dengan demikian, tidak boleh melakukan sujud di atas kapas, salju, jerami, beras, jagung dan biji rami. Sedangkan gandum maka dahi seseorang dapat stabil di atasnya sehingga boleh sujud di atasnya, karena bijinya saling menguatkan disebabkan sifatnya yang kasar dan saling menguatkan.”

Menjelaskan pernyataan pengarang Marâqî al-Falâh di atas, ath-Thahawi dalam al-Hâsyiyah ‘alâ Marâqî al-Falâh, mengatakan, “Maksud permukaan alas adalah permukaannya yang keras, sebagaimana disebutkan dalam al-Fath. Begitu juga yang serupa dengan itu seperti ranjang, gerobak yang diletakkan di atas di tanah. Sedangkan maksud larangan bersujud di atas kapas adalah jika tidak merasakan permukaan yang keras. Begitu juga setiap benda yang diisi kapuk, seperti kasur dan bantal. Sedangkan larangan besujud di atas beras dan jagung adalah karena permukaan benda tersebut halus dan bentuknya keras sehingga tidak dapat diam (selalu bergerak) yang mengakibatkan dahi seseorang terus bergerak masuk ke dalam tanpa terhenti pada permukaan yang diam. Kecuali jika benda tersebut diletakkan disebuah wadah tertentu.”

Salat dengan bersujud di atas permadani dan sejenisnya, menurut mazhab Maliki, adalah makruh jika tidak digunakan oleh masjid atau tidak ada keperluan untuk melakukan hal tersebut. Jika terdapat alasan tersebut, maka tidak ada kemakruhan sama sekali.

Syekh ad-Dardir dalam asy-Syarh al-Kabîr mengatakan, “Hukumnya makruh bersujud di atas pakaian atau karpet yang tidak digunakan untuk menutupi lantai masjid. Sedangkan bersujud di atas tikar yang tidak mewah maka tidak makruh, tapi jika tidak melakukannya maka lebih baik. Sedangkan jika tikar itu lembut, maka hukumnya makruh.”

Dalam Hâsyiyah atas kitab ini, Syekh Dasuqi menjelaskan, “Maksud bahwa alas salat tersebut tidak digunakan untuk masjid adalah tidak adanya keperluan untuk menggunakan karpet tersebut karena suhu panas atau dingin atau kasarnya lantai tempat bersujud. Jika tidak ada alasan-alasan tersebut, maka tidak makruh bersujud di atasnya. Sebagaimana tidak makruh bersujud di atas karpet masjid, baik karpet tersebut merupakan wakaf, hasil dari barang wakaf atau dari orang lain yang menjadikan karpet tersebut seperti wakaf untuk masjid.”

Adapun dalam mazhab Syafi’i, maka Imam Syafi’i radhiyallahu ‘anhu dalam kitab al-Umm pada Bab “Pakaian dan Karpet untuk Salat,” berkata, “Rasulullah saw. melakukan salat di atas namirah. Namirah adalah tikar yang terbuat dari wol. Sehingga, tidak apa-apa salat dengan memakai wol, bulu dan bulu unta atau menjadikannya sebagai alas salat. Rasulullah saw. bersabda,

“Kulit apa saja yang telah disamak maka ia suci.”

Dan tidak apa-apa pula melakukan salat dengan memakai kulit yang telah disamak baik berasal dari bangkai, binatang buas ataupun setiap sesuatu yang mempunyai ruh kecuali anjing dan babi. Dan boleh melakukan salat dengan memakai kulit binatang yang disembelih dan boleh dimakan dagingnya meskipun kulit itu tidak disamak.” Demikian penjelasan Imam Syafi’i.

Imam Nawawi dalam al-Majmû’ menyatakan, “Jika seseorang bersujud di atas kapas, rumput atau sesuatu yang diisi dengan kedua benda tersebut, maka dia harus menekan kepalanya sehingga terbenam di dalamnya dan merasakan tangannya jika tangan orang itu diletakkan di bawah benda tersebut. Jika orang tersebut tidak melakukannya maka salatnya tidak sah. Imam Haramain berkata, “Menurut saya orang tersebut cukup meletakkan kepalanya saja tanpa perlu menekannya, sebagaimana yang diharuskan dalam gerakan sujud.” Pendapat yang diambil oleh mazhab adalah yang pertama. Dan ini pulalah yang ditegaskan oleh Syekh Abu Muhammad al-Juwaini dan pengarang kitab at-Tatimmah serta at-Tahdzîb.”

Dalam Mughnî al-Muhtâj, al-Khatib asy-Syarbini mengatakan, “Hendaknya berat kepala orang yang bersujud mengenai tempat sujudnya. Hal ini sesuai dengan hadis yang telah disebutkan,

“Jika kamu bersujud, maka mantapkan dahimu.”

Maksud berat kepala orang yang bersujud adalah hendaknya dia menekan kepalanya sehingga jika terdapat kapas atau rumput maka kepalanya akan terbenam dan dia dapat merasakan tangannya jika dia letakkan di bawah kapas atau rumput tersebut. Imam Haramain berpendapat bahwa meletakkan kepala saja sudah cukup. Dia menyatakan bahwa itu lebih dekat dengan sikap tawadhu daripada memaksakan menekan kepala.”

Dalam mazhab Hambali, Ibnu Taimiyah berkata dalam al-Fatâwâ al-Kubrâ, “Tidak ada perbedaan antara para ulama mengenai kebolehan melakukan salat dan sujud di atas kasur jika terbuat dari unsur bumi, seperti tikar dan sejenisnya. Namun, mereka berselisih mengenai kemakruhan melakukannya di atas sesuatu yang tidak berasal dari unsur bumi, seperti karpet dari kulit ternak dan karpet yang dibuat dari wol. Sebagian besar ulama memberi keringanan dalam hal ini. Ini adalah pendapat ulama hadis seperti Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, serta pendapat para ulama Kufah seperti Imam Abu Hanifah dan lainnya. Mereka juga mendasarkan pendapat tersebut pada hadis Aisyah. Karena, kasur (al-firâsy) yang disebutkan dalam hadis tersebut tidak berasal dari unsur bumi, tapi dari kulit atau wol.”

Al-Mardawi dalam al-Inshâf mengatakan, “Para sahabat (ulama Hambali) mengatakan, “Jika seseorang bersujud di atas rumput, kapas, salju atau pakaian dan sejenisnya, tapi orang itu tidak merasakan permukaannya maka tidak sah sujudnya tersebut. Karena tidak terdapat tempat yang tetap (tidak bergerak).”

Dalam Kasysyâf al-Qinâ’, al-Buhuti menyatakan, “Hukumnya sah melakukan salat di atas salju, baik dengan alas atau tidak, jika dia merasakan permukaan. Karena anggota sujudnya telah mendapatkan tempat dengan sempurna. Begitu juga sah melakukannya di atas rumput dan kapas jika dia merasakan permukaan. Jika dia tidak merasakan permukaan itu, maka tidak sah salatnya karena dahinya tidak diam di tempat.”

Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, kasur tipis yang kalian buat itu boleh digunakan sebagai alas untuk salat. Tidak ada keharaman sama sekali menurut para ulama Ahlus Sunnah termasuk ulama Mazhab Empat. Karena kasur itu tidak terlalu tebal sehingga tidak mengakibatkan dahi seseorang bergerak dan dia dapat merasakan permukaan tanah ketika sujud. Hal itupun tidak dianggap makruh dalam mazhab Maliki, karena hukum makruh tersebut, menurut mereka, jika karpet tersebut digunakan karena tidak ada keperluan atau tidak digunakan oleh masjid. Kedua hal itu ada dalam masalah ini.

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

Fatwa Al-Azhar

S. Menggunakan Salah Satu Ruangan Masjid untuk Ruang Pertemuan

Kamis, 14 Januari 2010, 17:04 WIB

Pertanyaan

Ada seorang dermawan menyumbangkan sepetak tanah yang telah didirikan di atasnya sebuah masjid. Lalu para dermawan lain melakukan perluasan terhadap masjid tersebut dan membangunnya menjadi dua lantai. Saat ini, sebagian jamaah masjid ada yang mempunyai ide untuk menjadikan lantai dasar masjid itu sebagai ruang pertemuan. Mereka mengajukan permohonan izin kepada pemerintah provinsi yang kemudian mengabulkan permohonan itu. Akhirnya, lantai bawah masjid itu disekat dengan dua pembatas dari papan. Pembatas pertama untuk memisahkan para jamaah pria yang masih muda dengan yang sudah renta (yang biasanya memerlukan fasilitas khusus, seperti kursi dan lain sebagainya, red.). Sedang pembatas papan yang lain untuk memisahkan jamaah perempuan. Setengah bagian yang lain dari lantai dasar itu dijadikan sebagai ruang pertemuan yang tertutup rapat sehingga tidak bisa dijadikan sebagai tempat shalat. Jika ada seseorang yang wafat, maka seluruh pembatas papan di lantai dasar itu dilepas sehingga berubahlah lantai dasar itu menjadi ruang pertemuan sepenuhnya.

Perlu kami sampaikan bahwa terdapat tempat pertemuan lain yang dimiliki bersama oleh para penduduk desa yang berjarak kira-kira tiga puluh meter dari masjid ini. Apa hukum tindakan ini?

Jawaban
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad

Sebagaimana ketetapan syariah, sebuah tanah yang diwakafkan kepada masjid, kepemilikannya berpindah dari pemilik tanah kepada Allah SWT. Siapapun tidak boleh menggunakan sebagian tanah itu untuk selain kepentingan masjid. Allah berfirman,

“Dan masjid- masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (Al-Hajj: 40).

Dan firman-Nya,

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya.” (Al-Baqarah: 114).

Firman-Nya pula,

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.” (An-Nûr: 36).

Allah pun berfirman,

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (Al-Jinn: 18).

Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, tidak boleh menggunakan sebagian bangunan masjid untuk dijadikan sebagai ruang pertemuan, baik ada ruang pertemuan lain yang dekat ataupun tidak.

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

Fatwa Al-Azhar

T. Hukum Menikah dengan Pengikut Aliran Ahmadiyah Qadiyani

Kamis, 14 Januari 2010, 16:33 WIB

Pertanyaan

Saya adalah seorang wanita yang telah menikah sejak empat setengah tahun yang lalu, dan mempunyai dua orang putra; yang pertama berumur tiga tahun, dan yang kedua masih menyusu karena baru berumur lima bulan. Usia saya sekarang adalah dua puluh delapan tahun, sedangkan suami tiga puluh tahun. Suami saya bekerja sebagai teknisi komputer yang bergerak khusus di bidang desain grafis dan website. Saya sendiri juga bekerja di bidang yang sama dengan suami. Sekarang saya tengah mengandung dan telah memasuki usia bulan keempat kandungan. Sejak kelahiran anak yang kedua, orang tua dan saudara suami saya telah masuk menjadi jamaah Ahmadiyah (yaitu salah satu jamaah yang berada di India, tepatnya di daerah Qadiyani, yang dipimpin oleh Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani -meninggal pada tahun 1908 M-).

Dimulai dari sejak itulah, mulai muncul perbedaan di antara kami dikarenakan perbedaan sikap dalam menerima jamaah ini dan ajarannya. Akan tetapi, meskipun saya tidak menerima keberadaan jamaah ini, saya tetap meminta kesepakatan kepada suami agar dalam keluarga, tidak usah membahas masalah setuju atau tidak dengan jamaah ini. Dia pun setuju dengan permintaanku dan dia menetapi kesepakatan yang telah dibuat tadi serta mereka tidak pernah lagi mengganggu merecoki aku lagi dengan keyakinan mereka. Begitu juga keluarganya, mereka tidak pernah lagi menggangguku dengan ajaran jamaah Ahmadiyah itu.

Akan tetapi, suami saya yang awalnya cukup teguh dengan ajaran agama yang selama ini kami anut, lama-lama akhirnya bisa menerima dan mengikuti ajaran mereka. Suami saya mengikuti mereka karena dia berkeyakinan bahwa bapaknya pastilah hanya menginginkan yang terbaik untuknya dan sesuai dengan kemaslahatannya. Sejak saat itulah, dia mengikuti aliran jamaah Ahmadiyah ini hingga sekarang.

Sejauh yang saya ketahui tentang aliran tersebut, mereka pernah mengatakan bahwa jamaah tersebut terbagi menjadi dua golongan; yang pertama menyebut dirinya sebagai jamaah Ahmadiyah, dan yang kedua adalah jamaah al-Qadiyaniyah yang tersesat atau melenceng dari ajaran aslinya, di mana sebagian besar umat dan alim ulama telah sepakat menghukumi mereka kafir dikarenakan akidahnya yang nyeleneh. Di antara ajarannya yang nyeleneh adalah, bahwa ibadah haji mereka hanya boleh dilakukan di kampung Qadiyan, begitu juga dengan urusan menghadap kiblat yang hanya sah bila menghadap Qadiyan. Serta masih banyak lagi beberapa ajaran anehnya yang lain. Adapun tentang jamaah Ahmadiyah yang dianut suamiku ini, sampai saat ini aku belum mendapatkan adanya ajaran yang bertentangan dengan apa yang saya yakini.

Saya bisa mengatakan demikian, karena saya melihat mereka menghadap kiblat dengan benar, sesuai dengan yang diajarkan oleh syariat Islam. Mereka membaca al-Qur’an dan mengikuti sunnah Nabi kita Muhammad saw dengan benar dan sempurna. Mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, dan saya tidak mendapati adanya perubahan apapun dalam keberagamaan mereka, selain kebiasaan mereka yang tidak mau melakukan shalat di beberapa masjidnya kaum Sunni dan lebih memilih shalat berjamaah dengan imam dari jamaah Ahmadiyah, serta keyakinan mereka bahwa nabi Isa as telah meninggal dan bahwasanya Imam Ghulam Ahmad (Imamnya Jamaah Ahmadiyah) adalah Imam Mahdi al-Muntadzar dan pengganti Nabi Isa as di Hari Kiamat nanti.

Aku telah membaca lembaran baiat yang khusus untuk mereka, dan aku mendapati di dalamnya terdapat ajaran tentang dua kalimat syahadat, mengikuti sunnah Rasulullah dan melaksanakan lima rukun Islam, meskipun saya mengetahui dengan pasti bahwa sebelum memasuki jamaah Ahmadiyah, suamiku tidak pernah memperhatikan dengan urusan jamaah dan beberapa urusan agama secara umum, kemudian setelah memasuki jamaah Ahmadiyah, dia hanya melakukan shalat, melaksanakan kewajiban agamanya dan memperhatikan amal ibadahnya, serta sedikit mengurusi keluarga dan anak-anak.

Saya mohon penjelasan hukum tentang:

–  Bagaimana seharusnya saya bergaul terhadapnya. Apakah boleh saya tetap bergaul dengannya sebagaimana seorang istri ataukah tidak?

–  Kalau tidak boleh, apakah tetap diperbolehkan baginya untuk memberikan nafkah kepada saya dan anak-anaknya serta memberikan tempat tinggal untuk kami?

–  Apakah boleh baginya mengambil anak-anak dari saya setelah mereka semua menginjak dewasa dan setelah mereka melewati masa kanak-kanak, dikarenakan mereka semua adalah anak laki-laki?

Jawaban
Dewan Fatwa

Al-Qadiyaniyah adalah sebuah kelompok yang disnisbatkan kepada suatu desa, yaitu Qadiyan, salah satu desa yang terdapat di Punjab, India. Jamaah ini didirikan oleh Ghulam Ahmad al-Qadiyani, yang aslinya berasal dari Persia atau Mongol. Ada yang bilang kalau ayahnya berasal dari Samarkand. Dia lahir pada tahun 1839 M di desa Qadiyan, dan tumbuh bersama dalam keluarga pengkhianat yang bekerja untuk penjajah. Bapaknya adalah anak buah Murtadha, salah satu tokoh yang mempunyai hubungan cukup kuat dengan pemerintahan Britania Raya (Inggris). Bapaknya juga seorang anggota parlemen, dan pada tahun 1851, dia bersekutu dengan pemerintahan Inggris melawan dan memerangi penduduk negerinya sendiri, dengan mengerahkan lima puluh tentara infanteri dan lima puluh tentara berkuda.

Setelah Ghulam Ahmad mempelajari sebagian kitab-kitab berbahasa Urdu dan Arab, serta membaca beberapa buku tentang perundang-undangan, dia lalu bekerja sebagai pegawai negeri di kota Kalkuta. Setelah itu, dia menyebarkan kitabnya Barâhîn Ahmadiyah yang dicetak dalam beberapa juz. Kemudian dia mulai menyebarkan paham ajarannya pada tahun 1877, dan kemudian pada tahun 1885, dia mengumumkan dirinya sebagai Mujaddid (pembaharu). Selanjutnya pada tahun 1891, dia mengaku bahwa dialah Imam Mahdi dan bahwa dialah al-Masih yang pernah dijanjikan dalam sebuah hadis Nabi. Dia berkata, “Aku adalah al-Masih, dan aku adalah Kalimullah. Aku adalah wujud dari Muhammad dan Ahmad.” Karena itulah, maka dia menganggap dirinya lebih utama dari para Nabi yang lain.

Ghulam Ahmad meninggal pada tanggal 26 Mei 1908 di kota Lahore, dan dikuburkan di desa Qadiyan. Dia adalah seorang yang licik. Dia tidak pernah mengutarakan dengan terus terang tentang permusuhannya terhadap Islam dan juga tidak terus terang mengaku telah keluar dari Islam. Sebaliknya, dia menampilkan diri sebagai Pembaharu dan Revolusioner. Kemudian setelah itu, mengaku bahwa dia telah memperoleh wahyu. Wahyu yang datang kepadanya bukanlah pengangkatan sebagai Nabi yang ditugaskan sendirian akan tetapi dia memperoleh wahyu sebagai Nabi pendamping, sebagaimana posisi Harun dalam mendampingi Musa as.

Kemudian, dia mulai menakwilkan teks-teks Alquran dengan penakwilan yang melenceng dan sesat, untuk merealisasikan impian besarnya. Dia juga menjalin kerja sama dengan para penjajah dan orientalis. Karena itulah, dia mengeluarkan fatwa sesatnya yang mengatakan bahwa Jihad pada masa sekarang ini tidak ada lagi dan telah dihapus. Dia beranggapan bahwa kaum muslimin tidak boleh mengangkat senjata memerangi Inggris yang saat itu menjajah India, bahkan dia berargumen bahwa mereka (penjajah) adalah khalifah Allah di bumi.

Setelah dia meninggal, ajaran dan pemikiran sesatnya diteruskan oleh anaknya yang bernama Mahmud. Dia mengatakan, “Sesungguhnya kami menganggap kafir orang-orang selain pengikut Qadiyan, karena Alquranmemberitahukan kepada kita bahwa siapa yang mengingkari salah satu rasul, maka dia kafir. Karena itulah, maka siapa saja yang mengingkari kerasulan Ghulam Ahmad, maka dia kafir.”

Anaknya Ghulam Ahmad yang kedua juga mengeluarkan pendapat yang sesat dengan mengatakan, “Siapa saja yang mengimani kenabian Musa, tapai tidak mengimani kenabian Isa, maka dia Kafir. Begitu juga, siapa saja yang mengimani kenabian Isa dan tidak mengimani kenabian Muhammad, maka dia kafir. Pun begitu, siapa saja yang tidak mengimani Ghulam Ahmad, maka dia kafir.”

Beberapa kitabnya Qadiyaniah mengungkapkan bahwa Allah telah memberikan wahyu kepada Ghulam Ahmad, dengan berfirman, “Siapa saja yang mencintai-Ku dan taat kepada-Ku, maka dia harus mengikutimu dan beriman kepadamu. Jika tidak, maka dia tidak Ku anggap sebagai hamba yang mencintai-Ku dan dia berarti telah menjadi musuh-Ku. Dan jika orang-orang yang mengingkari kenabianmu tetap tidak mau menerima ini, dan bahkan mendustakanmu dan menyakitimu, maka Kami pasti akan membalasnya dengan balasan yang paling buruk, dan Kami siapkan bagi mereka Neraka Jahanam.”

Di antara ajaran al-Qadiyaniyah yang menyesatkan adalah, bahwa kenabian tidak tertutup dengan kenabian Muhammad saw. Mereka berkata, “Kami berkeyakinan bahwa Allah masih mengirimkan para rasul-Nya untuk memperbaiki umat ini dan menunjukkannya jalan hidayah sesuai dengan keadaan. Jelas ini adalah nyata-nyata bentuk kekafiran dan berseberangan dengan firman Allah, Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (al-Ahzab: 40). Keyakinan tersebut juga menyalahi hadis Nabi saw, “Tidak ada lagi Nabi setelahku.” (HR Bukhari).

Dan masih banyak lagi penyimpangan ajarannya yang lain, seperti tidak mengakui ketinggian derajat para Nabi dan para Khulafaur Rosyidin, menafsirkan Alquran dengan sekehendak mereka sendiri, menciptakan kiblat tersendiri, yaitu dengan mengubahnya menjadi menuju desa Qadiyan, serta mengganti ibadah haji di tanah suci Makkah dengan pertemuan tahunan pemeluk Qadiyaniyah. Di antaranya juga, dia mengaku bahwa telah diturunkan kitab dari Allah kepadanya, yang bernama “al-Kitab al-Mubin.”

Di antara karakter dan sikap politis yang diambil ajaran Qayadiyaniah ini adalah memusuhi Islam dan mendukung para penjajah yang sedang berkuasa di tanah Islam, serta beberapa sikap munafik lainnya yang tidak pernah mendukung Islam, akan tetapi mereka tidak pernah terus terang mengatakan bahwasanya mereka telah keluar dari Islam.

Dari semua paparan dan asal muasal ajaran ini lahir, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ia hanyalah rekayasa para penjajah yang sengaja menciptakannya untuk memecah belah umat Islam. Mereka berkembang dengan cara menyusup ke dalam komunitas umat Islam, padahal sebenarnya mereka sama sekali tidak ada kaitannya dengan Islam. Tujuan utama daripada lahirnya ajaran ini selain memecah belah umat Islam adalah untuk melemahkan kekuatan umat Islam, sekaligus penyebaran misi orientalisme yang disusupkan melalui ajaran-ajaran yang nyeleneh.

Karena itulah, kaum muslimin sepakat menyatakan bahwa ajaran ini bukanlah ajaran Islam, dan barang siapa yang mengikuti ajaran ini, maka dia bukanlah termasuk golongan kaum muslimin. Dengan demikian, maka dia telah murtad dan keluar dari Islam. Orang murtad adalah orang yang keluar dari Islam dan berpindah mengikuti agama lain, sebagaimana firman Allah, Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (al-Baqarah: 217).

Para ahli fikih dan ulama juga sepakat, bahwa orang yang telah murtad dari Islam, apabila dia menikah, maka pernikahannya tidak sah dan akadnya batal, baik dia itu menikah dengan perempuan Islam atau bukan Islam, karena pernikahannya tidak dianggap sah menurut syara’, selama dia belum bertaubat dan kembali lagi memeluk agama Islam.

Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah (Lembaga penelitian dan kajian keilmuan) al-Azhar asy-Syarief pada masa kepemimpinan Syeikh Jadil Haq ‘Ali Jadil Haq telah mengeluarkan keputusan tentang kelompok Qayadyaniyyah, dengan mengatakan bahwa aliran ini termasuk daripada kelompok atau golongan yang mengambil Islam sebagai baju mereka, padahal sebenarnya mereka tidak ada sangkut pautnya dengan Islam.

Pada bulan Agustus 2007, Majma’ Buhuts kembali mengeluarkan keputusan terbarunya berkenaan dengan aliran ini. Di antara isi keputusannya adalah, bahwa pengikut aliran Qayadiyaniyyah bukanlah kaum muslimin, dan bahwasanya aliran ini tidak ada sangkut pautnya dengan Islam, apalagi terhadap kitab baru mereka yang mereka yakini lebih benar dari Alquran. Majma’ Buhuts juga mewanti-wanti kaum muslimin akan bahaya aliran Qayadiyaniyah yang selama ini selalu menyatakan bahwa mereka adalah termasuk salah satu aliran dalam Islam. Majma’ buhuts mengingatkan bahwa mereka bukanlah aliran Islam. Mereka menggunakan Islam sebagai kendaraan mereka dalam memecah belah kaum muslimin. Biasanya mereka selalu mengatakan kepada kaum muslimin yang lain, bahwa perbedaan yang terjadi antara mereka dengan kaum muslimin hanyalah perbedaan dalam masalah furu’iyyah (ibadah sunah) saja dan bukan menyangkut Ushul (Tauhid dan keyakinan). Apa yang mereka katakan tersebut tidak benar, karena sesungguhnya aliran ini sangatlah berbeda dengan ajaran yang selama ini dibawa oleh syariat Islam.

Majma’ al-Fiqh al-Islamy ad-Dauly juga mengeluarkan keputusan yang berhubungan dengan aliran ini pada Mu’tamar Islam di Jeddah pada tanggal 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22-28 Desember 1985 M. Di antara keputusannya adalah, menyatakan bahwa aliran yang berpusat di Lahore, yang mengaku sebagai bagian dari kelompok Islam, dan yang menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dan rasul terakhir adalah akidah atau keyakinan yang sesat. Karena telah dijelaskan di dalam Alquran bahwa tidak ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad saw.

Pada Mu’tamar Majma’ al-Islamy ad-Dauly yang ketiga juga diputuskan lagi bahwa aliran ini adalah aliran yang sesat. Dalam muktamar tersebut juga diputuskan bahwa aliran Qadiyaniyah yang tidak lain merupakan aliran Ahmadiyah adalah aliran yang benar-benar telah keluar dari Islam, dan para pengikutnya telah dianggap murtad atau keluar dari Islam. Dengan demikian, menjadi kewajiban kaum muslimin untuk memerangi aliran ini dan menyadarkan pengikutnya yang telah sesat di seluruh dunia.

Berdasarkan dengan keputusan inilah, maka jawaban untuk pertanyaan di atas adalah, bahwasanya apabila seseorang yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam keluarga dan agama tersebut telah mengikuti aliran al-Qadiyaniyyah atau Ahmadiyah dan menganggapnya sebagai ajaran agama yang paling diyakini kebenarannya, maka dengan demikian dia telah murtad. Karena itu, maka tidak diperbolehkan bagi si penanya yang merupakan seorang muslimah taat untuk menikahinya. Apabila pernikahannya telah terjadi, maka akadnya batal secara syar’i. Adapun jika masih meneruskan hubungan suami istri (hubungan badan), maka itu dianggap sebagai perbuatan zina dan itu sangat diharamkan dalam Islam. Demikian juga, tidak diperbolehkan baginya mengambil anak-anak dari tangan istri muslimah setelah mereka beranjak dewasa, karena dikuatirkan apabila mereka mengikuti bapaknya yang beraliran sesat, maka mereka juga nantinya akan mengikuti aliran sesat ayahnya.

Allah swt berfirman, Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Âli ‘Imrân: 85)

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

Fatwa Al-Azhar

U. Menggugurkan Hutang Orang dengan Menjadikannya sebagai Zakat

Kamis, 14 Januari 2010, 16:12 WIB

Pertanyaan

Bolehkah menggugurkan sebagian hutang orang muslim kepada kita yang tidak kunjung lunas dengan menjadikannya sebagai zakat kita kepadanya, tanpa memberitahunya bahwa kita menjadikan hutang itu sebagai zakat kita?

Jawaban
Dewan Fatwa

Menggugurkan hutang orang lain kepada kita yang tidak kunjung dilunasi dan memasukkannya ke dalam perhitungan zakat kita dengan tanpa memberitahu orang yang berhutang bahwa kita memasukkanya dalam zakat adalah boleh menurut para ulama Mazhab Syafi’i dan Asyhab dari Mazhab Maliki. Ini juga pendapat Imam Ja’far ash-Shadiq, Hasan al-Bashri dan Atha`. Menurut mereka hal ini dibolehkan karena orang-orang yang berhutang itu masuk dalam golongan ghârimîn (orang-orang yang berhutang) yang merupakan salah satu dari delapan mashârîf zakat (penerima zakat).

Penguat bagi pendapat ini adalah bahwa Allah ta’ala menamakan pengguguran hutang dari orang yang kesulitan dalam melunasinya sebagai sedekah. Allah berfirman,

“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 280).

Maka pengguguran terhadap hutang orang yang kesulitan melunasinya merupakan sedekah kepadanya, walaupun tidak adanya serah terima dan pemindahan kepemilikan kepadanya, berdasarkan prinsip semua perkara berdasarkan tujuannya.

Pengguguran itu sendiri serupa dengan perbuatan serah terima. Oleh karena itu, seandainya seseorang menyerahkan zakatnya kepada orang yang berhutang kepadanya, kemudian dia mengambilnya kembali sebagai pelunasan hutang orang itu kepadanya, maka hal itu dibolehkan. Maka demikian juga seandainya dia menggugurkan hutang orang itu sebagai pelunasan zakat. Hal ini dibolehkan karena tercapainya tujuan yang diinginkan dari kedua hal di atas, yaitu menghilangkan beban hutang dari pundak orang yang berhutang.

Kami melihat tidak apa-apa mengambil pendapat ini, karena ini merupakan salah satu realisasi dari sikap mengasihani para pemberi pinjaman yang tidak kunjung terlunasi piutangnya pada orang lain. Selain itu juga memberikan kemudahan kepada orang-orang yang berhutang yaitu dengan menghilangkan beban hutang dari pundaknya.

Juga tidak apa-apa tidak memberitahu orang yang berhutang tentang dimasukkannya hutang yang digugurkan darinya sebagai zakat untuknya. Karena, ini merupakan salah satu upaya menjaga perasaan dan air muka mereka, dan semua ini adalah perbuatan mulia yang dianjurkan oleh Islam.

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

Fatwa Al-Azhar

V. Apakah Dosa Pezina Hilang dengan Menikahi Pasangan Berzinanya?

Kamis, 14 Januari 2010, 15:54 WIB

Pertanyaan

Ketika seseorang yang berzina menikahi pasangan zinanya, apakah dosa perzinahannya akan hilang ataukah akan tetap ada?

Jawaban
Dewan Fatwa

Zina merupakan salah satu dosa besar yang dapat diampuni dengan bertaubat secara benar-benar (taubah nasuha). Dalam taubat ini pelaku zina tidak disyaratkan menikahi pasangannya dalam perbuatan zina tersebut. Namun, taubat itu terealisasi dengan meninggalkan perbuatan terkutuk tersebut dan benar-benar menyesalinya, serta bertekad kuat (berazam) untuk tidak mengulanginya kembali. Jika pelaku zina itu bertaubat, niscaya Allah akan menerima taubatnya, baik dia menikahi perempuan yang dia zinahi ataupun tidak, karena taubat tidak ada kaitannya dengan pernikahan.

Meskipun demikian, secara moral seseorang dituntut untuk menutupi perbuatan zina tersebut dari pasangannya. Sehingga, jika keduanya telah bertaubat dan saling cocok untuk menikah, maka akan lebih baik bagi keduanya untuk menikah.

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

W. Membayar Hutang Sesuai Nilai atau Sesuai Angka Nominal?

Selasa, 26 January 2010, 20:08 WIB

Pertanyaan

Salah seorang teman saya berhutang kepada saya. Karena kebetulan saya bekerja di negara lain, maka saya memberinya pinjaman berupa perhiasan emas dan mata uang yang biasa saya gunakan. Selain meminta tenggat tertentu sehingga dapat mengembalikan hutang itu, dia juga mensyaratkan untuk membayarnya sesuai dengan jumlah nominal yang dia ambil. Ketika tiba waktu pembayaran, harga emas dan nilai mata uang itu telah berubah sehingga mempunyai nilai yang lebih tinggi. Dalam hal ini, apakah saya telah menzaliminya dengan memintanya untuk mengembalikan sesuai dengan jumlah nominal yang dia pinjam? Apakah saya berarti telah mengambil hak yang bukan hak saya?

Jawaban
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad

Selama kesepakatan antara keduanya adalah mengembalikan emas dan mata uang asing itu sesuai dengan jumlah nominalnya, maka nilai lebih dari nominal itu merupakan hak dari orang yang meminjamkan. Sehingga, jika saat tiba waktu pembayaran nilai mata uang itu bertambah kecil, maka orang yang memberi hutang tidak dapat menuntut kecuali dengan nilai yang berlaku saat itu. Begitu pula jika nilai mata uang itu semakin tinggi. Dalam sebuah kaidah dinyatakan “keuntungan yang diperoleh seimbang dengan resiko kerugian yang ditanggung” (al-ghunm bi al-ghurm). Allah SWT juga berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu .” (Al-Mâidah: 1).

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin ‘Auf r.a., Rasulullah saw. bersabda,

“Kaum muslimin harus menepati kesepakatan-kesepakatan yang mereka sepakati, kecuali kesepakatan yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.” (HR. Tirmidzi dan dia shahihkan. Hadis ini juga dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari riwayat Abu Hurairah)

Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, menuntut orang yang berhutang untuk mengembalikan mata uang sesuai dengan jumlah nominal yang dia ambil bukanlah termasuk perbuatan zalim. Tapi, itu adalah hak orang yang memberi hutang, meskipun hal itu tidak dinyatakan dalam akad. Karena, dalam kaidah fikih dinyatakan bahwa secara hukum dasar dalam hutang, ia harus dikembalikan sesuai dengan yang diambil.

Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

2 Komentar

2 thoughts on “FATWA

Tinggalkan komentar